Monday, May 18, 2020

People in Pandemic: Amanda Tasning, Mengajar Yoga Sambil 24 jam Memantau Anak

Salah satu kegiatan yang masih saya lakukan meskipun di tengah pandemi adalah olahraga yoga. Saya ingat masih dalam pekan terakhir sebelum akhirnya saya melakukan karantina mandiri, saya masih mendaftar salah satu kelas yoga di tempat langganan saya. Dengan situasi normal, saya biasa ke studio yoga 3-4 kali seminggu termasuk kelas yoga grup private di rumah. Selama pandemi, semua kegiatan olahraga tentu masih tetap saya jalankan demi menjaga badan tetap bugar dan kewarasan juga. Hal yang saya rindukan tentunya energi di dalam kelas-meskipun saya sangat anti sosial di kelas, alias jarang ngobrol sama teman sekelas, dan juga adjustment dari guru-guru yang membetulkan postur selama kelas.

Forever Student (IG @amandatasning)
Bicara soal guru, saya cukup pemilih. Yoga dimulai tahun 2010, dengan beberapa teman yang memanggil guru (yang masih teman juga) di sebuah kafe di Senopati. Lalu di tahun 2012 saya berkenalan dengan Dini Maharani, berlatih di rumahnya di Pejaten. Sempat terhenti karena pekerjaan saya yang tidak memungkinkan yoga di pagi hari. Kemudian saya berlatih di Tangerine Wellness selama intensif karena dekat dengan kantor di Gunawarman. Sampai hari ini, bisa dibilang tiga tahun terakhir adalah waktu terintensif saya berlatih yoga dengan studio hopping ke sana ke mari. Kalau boleh jujur dari semua perjalanan saya dengan guru-guru yoga, saya merasa paling klop dengan guru-guru lulusan Dini Yoga, on the mat dan off the mat. Perlu postingan khusus untuk menjelaskan preferensi itu tapi nanti kita kembali ke topik itu ya!

Untuk saat ini, saya sudah cukup bisa memahami kebutuhan fisik saya dan juga spiritual lewat yoga. Bukan usaha sebentar, tapi mengenal diri sendiri bertahun-tahun memberikan cukup rasa legowo, dan juga soal penerimaan diri tanpa perlu validasi orang lain. Salah satu guru yoga yang saya ikuti kelasnya selama dua tahun terakhir adalah Amanda. Saya pertama kali ikut kelas dia saat yoga marathon sebagai kelas praktik dari rangkaian Dini Yoga Teacher Training lalu dalam beberapa obrolan ternyata beberapa irisan ada dalam kehidupan sosial kami, termasuk bekerja di gedung Aksara. Amanda di Ganara saya di Kinosaurus. Jadilah semakin sering bertemu dan semakin rajin ikut kelasnya. Bisa dibilang, kelas Amanda ini 'pedas pedas nikmat'. Fokusnya di core yang membuat perut bergetar, namun di akhir sesi pasti rasa nagih itu muncul. Jadi lupa kalau hampir sembilan puluh menit sebelum savasana (pose akhir relaksasi) kami sekelas dihajar latihan yang menguras keringat dan memicu kardio.

Selama masa pandemi, saya tetap coba aktif dan konsisten ikut kelas yoga termasuk kelas Amanda. Di sela-sela mengajar ternyata banyak penemuan baru bagi Amanda, termasuk usaha-usahanya bertahan di antara bisnis serta kehidupan di rumah. Saya tahu Amanda dan suaminya memiliki beberapa usaha di bidang F&B, Amanda sendiri juga punya studio olahraga yang merupakan bisnis bersama kawan-kawannya. "Banyak banget yang berubah dari rencana kita tahun ini." Amanda mengaku tahun ini berencan membuka satu properti baru yang juga akan digunakan sebagai studio yoga. Nampaknya rencana tersebut harus ditahan dulu. Selain itu, bersama beberapa rekannya, ia juga mengelola studio olahraga, Breathe di bilangan Senopati yang menawarkan tidak hanya yoga tetapi juga

barre, mat pilates dan lainnya. "Breathe tutup. Tapi kita coba buka kelas online yang unlimited buat member". Kelas Breathe At Home, mematok harga Rp 300.000 saja sebulan untuk akses tidak terbatas dengan dua kelas setiap harinya. Sistemnya juga dibagi rata untuk guru-guru yang mengajar jadi semua bisa kebagian. "Kalau pekerja studio lainnya gimana?" tanya saya. Amanda dan rekan bisnisnya di Breathe tetap mencoba mempekerjakan cleaner dan staff finance selama studio tutup. "Bersih-bersih studio tetep aja ada, kan berdebu kalau kelamaan ditinggal ya" ujar ibu dua anak ini. "Breathe ini sebenarnya baru aja naik lho, dan bisa dibilang incomenya lagi peak. Terus kita harus hadapi ini semua, yaudah mau gimana? Yang penting masih bisa ada pemasukan deh!"lanjutnya.

Amanda mengajar di hampir lima studio berbeda di Jakarta. Situasi PSBB yang menyebabkan semua studio tutup tidak membuat kesibukannya terhenti. "Buka online class gini enak juga lho! Jadi gue ngajar sambil liatin anak gue ada di mana. Selama ini gue ngajar kan ngejar waktu, pindah sana sini. Nyetir sendiri atau naik MRT dan ojek. Sekarang jadi 24 jam di rumah, ngajar tetap jalan dan bisa tetep deket sama anak-anak". Ternyata perks lain dari situasi karantina di Jakarta yang selama ini macet membuahkan berkat juga. Ditanya apa hal baru yang ia ketahui dari anaknya selama terus menerus mendampingi anaknya yang mulai pre-school belajar, jawabnya "Ternyata anak gue yang gede, harus banget diliatin kalo belajar. Kalo gak dia bisa ketiduran! Gurunya kan lewat internet jadi gak bisa bangunin dia kan?". Untungnya juga Amanda mengaku punya support system yang mendukung, meskipun dekat dengan anak-anak ia tetap bisa meninggalkan mereka ketika harus mengajar 1-2 jam dalam sehari. Untuk Amanda penting juga punya sedikit me-time, walau terbatas "Kalo gak, seharian di rumah sama orang yang sama selama 24 jam bisa bikin berantem lho!"kelakarnya.

Apalagi usaha Amanda untuk mengurangi beban pikiran dan menambah pemasukan? "Akhirnya gue ke dapur. Bikin cemilan dari nostalgia childhood di Australia, hedgehog dan lemon slice." Lewat Instagram, Amanda mencoba menjajakan Slice, produk cemilannya, dari mulut ke mulut. "Awalnya gue kirim-kirim dulu lah ke orang-orang. Cobain, enak gak? Kan gue yang bikin, kalo menurut gue enak, jangan-jangan buat orang lain gak enak lagi! Hahaha.." Di pekan terakhir Ramadan ini Amanda juga mencoba peruntungan lewat penjualan hampers bersama salah satu studio tempat ia mengajar, MOOD Jakarta. "Lumayan juga, bisa nambah buat uang jajan dan THR lah ya!"tegasnya menutup obrolan kami.

** Amanda mengajar yoga dengan style Ashtanga dan Vinyasa di Breathe dan beberapa studio lainnya. Ia juga mencoba peruntungan dengan menjual cemilan khas Australia di akun Slice sembari mendukung bisnis sang suami Po Noodle Bar.

Tuesday, May 12, 2020

People in Pandeminc: Suri Annisa, Ketika Ibu Bos Daycare Turun Ke Dapur

Tulisan kedua di People in Pandemic, salah satu unggahan ibu-ibu yang wira-wiri di linimasa saya adalah kawan lama Suri Annisa. Kenal sosok perempuan yang satu ini sejak 2007 di sebuah hajatan pemilihan duta pariwisata yang diadakan di Jakarta Pusat. Bisa dibilang kami sedekat itu dulu dan beberapa tahun kemudian. Icha, sapaan akrabnya, kemudian disibukan dengan keluarganya dan usaha childcare-nya, KiDee. Ingat sekali saya ketika ia merintis usahanya bersama partner bisnisnya, ia baru memutuskan tidak lagi bekerja dan fokus mengurus keluarga. Namun, jiwa Icha yang lulusan jurusan pendidikan di Universitas Atmajaya tidak membuat dia bisa diam dan tetap ingin mengembangkan kemampuan sebagai pendidik. Suaminya, Edu pun mendukung lebih jika bisa dilakukan sendiri alias wirausaha. Cerita awal struggle Icha saya dengarkan sambil menikmati berpiring-piring sushi di Pondok Indah Mall. Enam tahun kemudian, KiDee sudah punya tiga cabang di Senopati, TB Simatupang dan Bintaro.



Serindu itu bertemu manusia lain, obrolan kami di satu pagi ini jadi ajang kangen-kangenan, termasuk melihat rumahnya di bilangan Depok. Sekitar tahun lalu, kami sama-sama sedang mengalami renovasi rumah yang cukup major. Kisah-kisah decluttering dan mengungsi di rumah orangtua saya simak di linimasanya. "Gimana KiDee Cha?" pertanyaan pertama saya ke dia. Tentu bukan hal mudah untuk wiraswasta bertahan di tengah situasi ini. "Kita coba memenuhi kebutuhan katering makanan, supaya tetap bisa menggaji pegawai kami". Dalam situasi normal, KiDee menyediakan makanan untuk anak-anak yang ada di daycare. Saat ini KiDee pun mengubah pola bisnis, makanan jadi jualan utama yang menopang bisnis saat ini. Ide ini juga muncul dari kebutuhan ibu-ibu yang di rumah, meskipun work from home ternyata memenuhi kebutuhan pangan jadi tantangan sendiri. Apalagi kalau anak perlu ditemani untuk sekolah online. Promosinya juga semua masih mulut ke mulut. "Untuk pertama kalinya, kami minta tolong sama salah satu rekanan buat bantu promosi kateringnya KiDee. Dia ini psikolog yang followernya lumayan banyak." Tidak disangka, responnya baik juga. Penjualan meningkat. "Apa selama ini memang sudah memanfaatkan promosi online?" tanya saya. "Gak pernah ada bujet buat promo online sih Na, semua baru muncul sejak pandemi ini. KiDee sendiri juga gak pake iklan, masih ngandelin word of mouth semua."

Sebagai bisnis yang bergerak di bidang hospitality sekaligus edukasi, KiDee memang lebih tepat mengandalkan servis yang mumpuni. Testimonial orangtua yang menitipkan anaknya menjadi senjata utama untuk menggaet calon orangtua-orangtua lainnya. Icha mengakui, bisnis daycare ini tak terduga dan rawan stres. Merawat anak-anak usia dini bukan hal main-main, keselamatan,keamanan, kesehatan dan juga kenyamanan anak serta orangtua adalah yang utama. Masalah anak sakit yang bisa menulari anak lain atau sakit karena konsumsi makanan kurang baik wajib ditelusuri dan mendapat perlakuan khusus. Icha dan partnernya, Irna benar-benar mengontrol secara serius area ini. Icha mengakui, hal utama yang ditanyakan calon orangtua anak-anak KiDee selain program adalah CCTV dan bagaimana aksesnya. Sejak semua kebutuhan nutrisi, edukasi dan keamanan ini ada di genggaman KiDee, popularitas serta kredibilitas diakui makin tinggi. Ketika saya mulai menanyakan urusan 'dapur' Kidee, Icha mengaku sudah cuan setelah masuki tahun ketiga. Ditanya bagaimana dengan antisipasi dampak COVID19 ini, "Untungnya kami membagi keuntungan di akhir tahun. Jadi segala keperluan sudah terpenuhi, baru share dibagi." Icha juga merasa di situasi seperti ini sistem ini sangat membantu. Ia juga mengaku semua jajaran manajemen KiDee ikut turun ke dapur membantu staff KiDee yang kini diberdayakan untuk menyiapkan katering pesanan. "Biar cepet kelar masaknya kalau rame-rame.."ungkapnya disertai gelak tawa.

Icha sendiri cukup menikmati #dirumahaja selama karantina dan PSBB diberlakukan. "Tapi gue harus banget keluar rumah sesekali, mau cuma beli jajanan atau keluar kompleks. Bosen kalo gak." Dari mulai belanja keperluan sampai jajan yang iseng, nampaknya bisa jadi 'penyembuh' di kala hari-hari yang tidak lagi sebebas 60 hari lalu. Icha juga banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama suaminya yang juga sibuk work from home dan anak perempuan, yang harus sekolah dari rumah. "Satu hal yang gue sadari selama 24 jam bersama anak gue, ternyata dia sudah hampir remaja". Icha mengaku ada kekhawatiran, ia melihat anaknya masih sangat 'bocah'. Tontonannya masih Disney atau Paw Patrol, tapi sudah sadar akan adegan ciuman misalnya sedang nonton bareng dan  dia akan tutup mata. Buat Icha, gerak-gerik putri berusia 8 tahun ini sudah menunjukan remaja yang sudah sadar akan lawan jenis. "Dia udah malu kalau ganti baju di depan ayahnya. Pernah juga cerita soal salah satu cowok di sekolahnya dengan malu-malu, cowok yang konon suka ngeliatin dia" ungkap Icha sambil tertawa.


"Aduuh.. gue udah hampir masuk ke masa-masa bahas ginian nih sama anak gue!"
Mungkin masa-masa karantina ini, Icha dan Edu bisa jadi waktu yang tepat menyiapkan diskusi soal dunia remaja sampai sex education untuk sang anak?

**KiDee Childcare ada di tiga cabang di Jakarta; Senopati, Graha Elnusa TB Simatupang dan Bintaro. Selama masa pandemi, Kidee juga melayani katering sehat untuk anak-anak via Instagram.

Saturday, May 9, 2020

People in Pandemic: Hally Ahmad, Stress Abis Kabur Ke Bali



Edisi perdana People in Pandemic (PIP) ini saya coba mereach-out kawan yang dulu juga merangkap sebagai teman kerja dan tetangga. Mungkin tepatnya kami jadi berteman setelah bekerja bareng lalu kemudian dia menyewa rumah belakang punya nyokap. Hally Ahmad, saya tahu dari Q Film Festival lalu dia membantu saya di JIFFEST tahun 2013. Keahliannya event, budget, dan nego. Setidaknya itu di mata saya. Bonus lainnya, dia teman juga yang sering menasehati saya. Saya biasanya nurut saja apa kata dia. Dulu zaman dia masih sewa rumah belakang, kadang-kadang jalan malam cari Indomie di warkop juga sering terjadi. Sekarang dia sudah pindah ke apartemen di wilayah Jakarta Selatan, jadilah teman jajan malam-malam saya berkurang. Hally sudah empat tahun merintis usahanya di bidang galeri seni, Senimart.

Awalnya Hally dan partnernya, Bintang membuat Senimart untuk mempermudah akses galeri seni konvensional yang sudah ada. Sejauh ini kita mengenal galeri seni sebagai tempat pameran dengan segala instalasi dan juga tempat transaksi benda seni. Hally merasakan kebutuhan galeri yang sifatnya lebih simpel dan bisa banyak menghemat waktu, yaitu galeri online ini. "Jakarta kan dulu macet ya!".
Selain menjadikan platform ruang pamer dan jual beli hasil karya seniman, Senimart juga mulai membuat event-event seni yang bekerjasama dengan seniman, ruang pamer atau brand. Saya ingat datang ke salah satu pembukaan acara pameran lukisan Goenawan Muhammad di Hotel Monopoli tahun lalu dan juga cerita perjalanan kolaboratif Senimart ke Swiss serta beberapa kota lain di Eropa.
"Harusnya bulan ini ke depan jadi waktu terpadat Senimart, kita ada pameran terakhir sama Naufal Abshar Maret lalu. Sebelum akhirnya ada peraturan gubernur yang melarang semua acara" ujar Hally. "Waktu itu harusnya ada event offline bahkan sampai Juli bisa dibilang semua event ya ditunda dulu".

Hally mengaku sempat 'kabur' ke Bali. Waktu itu saya ingat, mewanti-wanti sebaiknya membatalkan niat bepergiannya itu. Tapi ternyata dia nekat tetap pergi selama lebih kurang lima hari. "Tau gak? Gue sebenernya meeting. Ada meeting dengan asosiasi dan hotel di sana. Sialnya, mereka batal datang ke Bali yang dari Jakarta. Jadilah gue pake jalan-jalan aja di Bali seminggu. Nyesel sih, karena sebenarnya bujet itu bisa menyelamatkan gue di situasi sekarang." Sebagai salah satu tim manajemen di Senimart, Hally mengaku pelit kalau urusan uang kantor. Semakin hemat, semakin baik.Mungkin ini buahnya berhemat ketika akhirnya pemasukan makin menipis dan harus lebih kreatif putar otak demi tetap menggaji dua karyawannya. "Yang penting rodanya harus berputar. Walau kita harus usaha lebih keras, mungkin dapatnya lebih kecil. Aset apa yang kita punya buat tetap jadi program. Yang penting seniman bisa tetap bisa kerja dan dapat pemasukan."

Di Bali selama lima hari bukan pemandangan ideal di situasi pandemi, Hally merasa tertampar melihat situasi di Pulau Dewata itu. Ia menginap di daerah ramai di Seminyak, hari ke hari ia melihat satu persatu toko tutup. Ia melihat klub kenamaan perlahan-lahan menjual furnitur di jalanan. Ia melihat manusia-manusia duduk di jalanan dan menangis karena kehilangan pekerjaan. Ia bahkan didatangi seorang turis. "Dia nanya, gue ngapain di Bali? Gue jawab, Kerja" Lalu kemudian ia mendapati sang turis itu menawarkan diri untuk bekerja kepadanya. "Miris banget, ini yang akhirnya membuat gue langsung mengunci diri di rumah. Gue belum keluar rumah sejak dari Bali itu" ujarnya.


Di tengah semua usahanya tetap mengaktifkan Senimart lewat program Potraits Against Corona atau berbagai bincang Live di Instagram, ia merasa juga perlu kewarasan sebagai mahluk sosial. "Gue tinggal di apartemen ukuran 36m2, sendiri. Kalo gak meeting, gue gak ngomong sama orang lain" Saya goda, "Sudah ngomong sama tanaman?". Ia tertawa.

Saya sempat melihat ia rajin memasak,saya mau pesan opor ayam buatannya.
"Gue masak buat orang-orang (apartemen) sini aja sih. Atau ada temen lain juga gantian masak.Misalnya hari ini gue masak buat makan siang sama malam, tapi porsinya buat berdua-bertiga. Nanti kapan gantian temen gue yang masak. Atau kalau emang lebih gue kasih tetangga atas bawah aja." upaya memasak bersama atau bergantian sepertinya cukup bisa jadi penawar stres.

"Ternyata masak sendiri semurah itu ya? Gue belanja 50ribu bisa dua kali makan, porsinya banyak." Saya tertawa, mengingat kalau makan sama Hally gak bisa hanya sedikit dan betapa dia ngomelnya kalau saya ajak beli minuman bobba atau dessert lucu, komentarnya "Makanan lucu-lucu lo gak bikin kenyang!". "Kebayang ya selama ini makan seratus ribu di mal itu udah minimal banget. Belom ngopi." Tambahnya. Jujur, ia merindukan duduk sendiri di coffeeshop ramai tetapi sukses membuat dia menyelesaikan beberapa proposal dalam beberapa jam. Keheningan di antara keramaian, mungkin banyak teman-teman yang juga merindukan.

"Gak apa makan hemat, yang penting gue tetep bisa beli skincare di Tokped!" Tandasnya diakhiri dengan gelak tawa kita berdua.

** Mari berpartisipasi di Potrait Against Corona dan Kataseni Senimart lewat Instagram @senimart_id


Tuesday, May 5, 2020

People in Pandemic: Usaha Usaha Manusia (Intro)

Satu Dari Ratusan Sesi Zoom Kemudian
Selain menghitung hari sudah berapa lama #dirumahsaja dan penasaran kapan akhirnya kira-kira kita bisa beraktivitas di luar rumah (because normal is never near anywhere anymore!), saya juga penasaran dengan kegiatan teman-teman di luar sana. Orang-orang yang biasa saya temui di keseharian atau sekadar tegur sapa di media sosial. Bukan hanya soal kepo, tapi coping management rasanya jadi penting di masa-masa ini. Saya sendiri menganggap work from home bukan barang baru. 5 tahun lalu setelah resign dari pekerjaan kantor korporat, pekerjaan saya membutuhkan tatap muka kurang dari 3 kali per minggu. Sisanya mungkin saya manfaatkan untuk bekerja sendiri atau meeting di luar kantor. Bekerja dari rumah itu menyenangkan, tapi tidakmudah juga. Ada masa-masa bosan karena tidak ada teman mengobrol, suasana santai dan godaan ini itu di rumah.

Kerjaan Akbar Sekaligus Terakhir Sebelum Pandemik



Tahun 2016, setelah ambil unpaid leave sekitar 2 bulan untuk program summer camp dan lanjut plesiran di Eropa, saya menemui diri saya completely broke (yaiyalah sebulan jalan-jalan tanpa penghasilan) dan juga bosan.Saat itu pekerjaan rasanya banyak tapi sudah dikerjakan semua. Mau keluar rumah jalan-jalan, gak ada duit. Jadilah di rumah, berkawan sepi dan internet (Netflix belum booming saat itu.) Tahun-tahun berikutnya saya mulai bisa mengatur jadwal kerja dan kehidupan sosial, termasuk side job untuk tetap bisa waras dengan pekerjaan yang minim interaksi sosial. FYI, pekerjaan saya sebagai distributor film sampai 2019 hanya berdua dengan bos saya yang juga founder. Sisanya,paling beramah tamah dengan tim produksi yang ada di kantor atau kolega saya di ruang eksibisi. 80% pekerjaan semua lewat surel dan telepon. Dengan WFH memang akhirnya harus pintar-pintar bagi waktu supaya tidak stress atau gila sendiri. Belum lagi mereka-mereka yang harus intens menemani anak sekolah via daring, distorsi dari orang rumah, beberes urusan domestik, dan belum lagi kalau tinggal di kosan atau rumah petak yang terbatas luasnya. Kerja di rumah ternyata ekstra energi sekali!
Yoga Di Rumah Aja

Working Station Di Kasur :p
Lebih kurang situasinya seperti ini, hampir masuk minggu ke delapan karantina. Ada yang memang bekerja dari rumah-seperti saya, tetap harus ke kantor - seperti adik-adik saya yang bekerja di penerbangan dan rumah sakit, atau bahkan benar-benar tidak bekerja alias diPHK atau freelancer tanpa job. Banyak juga teman yang punya usaha, harus putar otak kanan kiri depan belakang supaya meminimalisir lay off karyawannya, atau sesimpel tidak mengorbankan dana pribadinya.

Satu Dari Sekian Resep yang Dicoba
Akhirnya saya ngapain aja di rumah? Yang pasti masih bekerja, hamdallah walau pemotongan sana-sini yang tak bisa dihindari. Ada sedikit sidejob- yang mencairkan invoicenya bikin deg-degan. Sisanya, tetap yoga dengan grup private, yoga online dengan guru-guru saya yang di Jakarta atau di negara lain, masak-masak resep dari William Ghozali di Youtube atau sekadar resep gampang dari Tastemade. "Nongkrong" pun tergantikan dengan telepon via Zoom atau Instagram Video yang filternya lucu-lucu dan receh. Kalaupun ada usaha-usaha lain yang coba saya lakukan, menulis kembali di blog atau beride menjadi reseller online shop. Mungkin itu salah dua yang bisa saya lakukan untuk sedikit meredakan kebosanan, atau bahkan level yang lebih mengerikan, kegilaan. Yah, mana tahu keadaan ini berlangsung lebih lama dari yang kita bayangkan. Bagi teman-teman yang tinggal sendiri, ngobrol sama tanaman atau binatang peliharaan bisa saja jadi opsi ketika sulit berinteraksi dengan manusia lain.

Jadilah, ini intro dari tulisan tentang semua usaha-usaha manusia di luar sana, beberapa di antaranya teman-teman saya, kolega atau keluarga saya. Apapun akhirnya, sangat produktif atau justru hanya rebahan, semuanya sah-sah aja kok!

Semoga berkenan membaca tulisan pertama di postingan berikutnya soal Usaha-Usaha Manusia lainnya!

Sunday, May 3, 2020

Rekomendasi Nonton Online: Streaming atau Download?


Saya bukan pecinta nonton online. Ini statement ketika platform streaming legal belum menjamur seperti sekarang. 10 tahun lalu, saya hanya mengandalkan kawan-kawan yang hobi download via Torrent dan sejenisnya untuk menonton film-film yang tidak tayang di bioskop. Tahun 2020, sebagai etika pekerja film yang kerjanya mendistribusikan secara legal,sayapun memulai langganan beberapa platform online.

Nonton di online streaming biasanya jadi pilihan untuk; Binge watching, nonton ulang film lama atau favorit atau ngejar film-film yang gak masuk ke bioskop Indonesia. Enaknya sekarang pilihan online streaming legal makin beragam dan menarik pilihan-pilihannya. Kadang memang gak ada yang ngalahin nonton di layar besar, tapi pilihan film ini rasanya masih cocok dan enak ditonton di layar kecil (atau smart TV) supaya pengalaman plus esensi nonton gak berkurang. Film-film ini merupakan film yang juga mendapat penghargaan di beberapa festival nasional dan internasional. 

Sekitar sebulan lalu, saya diminta Intan Wangge dari Kinanthi Publicity untuk merekomendasi beberapa film panjang di platform online legal. Ini beberapa pilihannya dengan tambahan yang sayangnya beberapa platform sudah ditutup saat tulisan ini dibuat. Selamat menonton!

Pilihan Film Dokumenter:

Tell Me Who I Am – Ed Perkins (Netflix)

Film Inggris produksi tahun 2019. Cerita tentang dua anak kembar, Alex & Marcus yang mengungkap cerita masa kecilnya karena Marcus mengalami kecelakaan hebat dan kehilangan memorinya. Alex mengajari Marcus tentang kehidupan mereka selama 30 tahun lebih dan terpaksa mengungkap rahasia keluarga yang selama ini ditutupi sang kembarannya.

Menariknya dokumenter ini mencoba menggali masa kecil dari orang dewasa yang menggabungkan visual dan jug interviu terhadap subjek. Emosi dua orang kembar ini juga mewakili bagaimana heart-breakingnya ketika masa lalu yang kelam tiba-tiba terungkap.

Nominasi British Film Awards 2019 – Best Documentary



Casting Jon Benet – Kitty Green (Netflix)

Berasal dari kisah pembunuhan Jon Benet Ramsey, beauty pageant queen anak-anak tahun 1996 di Boulder, Colorado, Amerika Serikat. Dokumenter ini melibatkan warga sekitar Boulder dan melakukan rekaulang seperti kejadian saat Jon Benet terbunuh, termasuk berperan seperti ayah dan ibu Jon Benet, yang sempat diduga sebagai pelaku pembunuhan.Terekam di film ini bagaimana penduduk yang menganggap misteri pembunuhan ini seperti mitos budaya pop selama belasan tahun.

Official Selection Sundance Film Festival 2017

Official Selection Berlinale FilmFestival 2017



One Child Nation – Nanfu Wang, Jialing Zhang (Prime Video)

Menonton film ini mengingatkan ketika menonton film-film Tiongkok dengan latar tahun 80an, semua serba seragam tetapi kita diajak juga mencari tahu apa alasan individual bisa sebegitu ‘kompak’ dengan pemerintah. Kisah tentang Nanfu Wang, seorang warga Tiongkok yang pindah ke Amerika dan mencoba mencari tahu keberadaan orang-orang sekitarnya yang terpaksa punya anak lebih dari satu, yang dianggap melanggar aturan pemerintah. Alasan-alasan yang bikin hati hancur mendengarnya, tetapi di sisi lain ada harapan dari bertemunya anak kembar yang terpisah. Menonton film ini tak lama setelah menonton film So Long My Son, memberi gambaran bagaimana propaganda di level wakil rakyat dan kelas pekerja tentang isu yang sama.

CPH;DOX 2019 – Nominee Politikeen Audience Awards

Sundance Film Festival 2019 – Winner Grand Jury Awards



Bikram – Eva Orner (Netflix)

Sejak tahun 2016an, muncul ke permukaan soal kekerasan seksual di komunitas yoga oleh para guru. Sayangnya, guru-guru tersebut adalah pemegang lisensi sertifikasi untuk para guru lain yang ingin mengajar di hampir seluruh dunia. Bikram Choudury, salah satu pemegang rights Bikram Yoga- salah satu bentuk yoga dalam ruangan panas 42 derajat celcius, mulai terungkap sebagai predator yang kerap melakukan kekerasan seksual terhadap murid-murid, calon guru yoga yang berujung bungkamnya komunitas yoga karena ketakutan akan tidak bisa mendapat sertifikasi dan lisensi membuka kelas Bikram Yoga. Situasi ini hanya satu dari sekian banyak komunitas lain yang juga bungkam terhadap kekerasan seksual terutama pada perempuan akibat adanya disfungsi kekuasaan terhadap satu individu yang dianggap penting dalam satu industri.



Pilihan Film Asing

Beautiful Boy – Felix Van Groeningen (Prime Video)

Adaptasi dari novel memoar David dan Nic Sheiff, ayah dan anak yang berjuang bangkit dari ketergantungan obat terlarang. Menariknya dari film ini, hubungan ayah dan anak ini dimulai sejak Nic masih kecil sampai dewasa. Struggling hubungan keluarga yang mulai menantang ketika meth masuk ke kehidupan keduanya.

Nominee Timothee Chalamet – Golden Globe Awards & BAFTA Awards 2019











Atlantics – Mati Diop  (Netflix)

Film dengan latar belakang kota Dakar, Senegal tentang sekumpulan muda mudi yang bekerja di bar dan gedung futuristik namun sang pemilik gedung menunggak bayaran mereka. Kejadian-kejadian mengerikan mendadak muncul, yang menghantui pemilik gedung demi menagih janji. Di samping itu kisah cinta antara Ada dan kekasihnya Souleiman yang terpaksa berlayar dan belum kembali. Ada menanti Souleiman kembali, meskipun ia juga dihadapkan dengan perjodohan demi membayar hutang dan kehidupan ekonomi lebih baik.

Cannes Film Festival 2019 - Winner Grand Jury Prize

Indiwire Critics Poll 2019 – Best First Feature



Wet Season – Anthony Chen (Hooq)


Film Singapura ini bercerita tentang kisah Weilun murid SMA dan gurunya, Ling yang sedang bermasalah dengan sang suaminya. Hubungan keduanya mulai mengisi satu sama lain sejak Ling yang masih berusaha untuk mendapat keturunan. Weilun, anak remaja yang tinggal sendiri dan merasa ingin memberi perhatian lebih kepada gurunya yang begitu sabar mengajar di tengah murid-murid bandel di sekolahnya. Trivia menarik untuk film ini, kedua tokoh utama ini sebelumnya bermain bersama di film Ilo Ilo tahun 2013 sebelum akhirnya bertemu lagi di film ini.

Golden Horse Film Festival 2019 - Best Leading Actress

Toronto International Film Festival 2019 – Nominee Platform Prize for Anthony Chen


A Simple Favor -  Paul Feig  (HBO GO)

Stephanie (Anna Kendrick) adalah ibu rumah tangga yang aktif dengan vlognya. Ia mencoba berteman dengan Emily (Blake Lively), seorang ibu dari teman sekolah anaknya yang terlihat classy, trendy dan sophisticated. Semakin dekat persahabatan mereka, sampai suatu hari Emily meminta sedikit pertolongan kepada Stephanie. Sayangnya, di saat yang sama pula Emily menghilang dan meninggalkan anak serta suaminya (Henry Golding). Ternyata hilangnya Emily, meninggalkan jejak dan Stephanie ikut terseret untuk memecahkan misterinya. Ia merasa ada pertolongan yang harus ia lakukan untuk sahabatnya. Perpaduan misteri dan drama ringan ala Gone Girl dan Searching, seru untuk ditonton tanpa perlu berpikir keras apalagi ditemani sosok eye candy Henry Golding.


Pilihan Film Indonesia

Lentera Merah – Hanung Bramantyo (Hooq)

Ingin melihat Hanung Bramantyo menyutradari film horror? Ini salah satu film yang menarik ditonton. Kisah tentang para mahasiswa jurnalis media Lentera Merah yang mendadak meninggal dan menyisakan misteri di kamar nomer 65. Belum lagi, anggota yang tersisa berebut kursi untuk posisi penting di redaksi tersebut.

Piala Citra 2006 – Nominasi Penata Musik, Art Director dan Original Score Terbaik

 



Arisan! – Nia Dinata (Netflix)

Salah satu film yang cukup berani di era awal 2000an mengangkat isu-isu seks, homoseksual, perselingkuhan di kalangan elit sosialita Jakarta. Kisah pertemanan Mei Mei, Sakti, Andien,dan Lita yang penuh intrik di balik kehidupan mewah yang menyilaukan dan tampak sempurna. Sekuelnya , Arisan!2 dibuat tujuh tahun kemudian.

Piala Citra 2004 – Pemenang Film Terbaik, Aktor Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik



    
 
Keramat – Monty Tiwa (IFlix)
Salah satu film horror terseram, selain karena mengangkat unsur lokal Jawa tengah yang mistis juga karena teknik mockumentary membuat penonton merasakan kengerian lebih dalam. Kisah sekelompok pembuat film amatir yang berniat membuat film justru berujung kejadian mistis menimpa satu persatu para 

Mencari Hilal - Ismail Basbeth (VIU)
Kisah yang cocok ditonton di masa pandemi dan juga bulan puasa ini, tentang bapak dan anak yang sering cekcok. Di bulan Ramadan, Heli (Oka Antara) terpaksa pulang ke rumah karena perlu mengurus dokumen dan mendadak diminta sang adik untuk meneman ayahnya, Mahmud (Deddy Sutomo) mencari hilal Ramadan. Tentunya perjalanan ini tidak mulus ketika ada saja hambatan yang mereka temui dan makin meruncingkan hubungan keduanya. Dirasa film ini mengingatkan kita dengan film Prancis, Le Grand Voyage, film ini mungkin bisa mengobati sedikit kerinduan bepergian kembali ke kampung halaman dan bertemu kerabat di masa sulit ini.
Piala Citra 2015 - Aktor Terbaik (Deddy Sutomo)

What I Learn From: BTS Meals, Tokopedia, Mad Beauty and Everything "In The Name of BTS"..

Teaser kolaborasi BTS x McDonalds Tulisan ini ditulis dari pengalaman pribadi dari berbagai perspektif setelah kolaborasi McDonalds dan kola...