Monday, December 28, 2020

Menonton Dengan atau Tanpa Bioskop, Sudah Siap?

 

Terakhir ke bioskop di tahun 2020 mungkin…Februari? Atau.. Maret? Hmm. Bisa jadi saya tidak ingat lagi. Namun saya ingat, 10 Maret 2020 saya mengadakan acara tahunan Kolektif, Film Musik Makan di Goethe Haus. Selama seminggu sebelum acara, saya sudah khawatir acara akan dibatalkan karena COVID-19 sudah merebak di Indonesia sejak awal Maret. Sebagai orang yang terlalu khawatir dengan risk management, ada dua kemungkinan kalau ternyata acara dibatalkan, tanggung jawab dengan filmmaker untuk kemudian hari harus mengadakan kegiatan pengganti. Belum lagi beberapa vendor yang sudah dibayarkan. Tentu saja saya harus membuat plan B supaya waktu, tenaga dan uang tidak sia-sia hangus begitu saja. 

Film Musik Makan 2020, Lolos dari Cancellation di Goethe


Kemungkinan berikutnya, soal risiko para penonton. Nggak mungkin mengandalkan mereka bisa menjaga diri sendiri 100%, jadilah harus ada usaha penyelenggara menyiapkan ini itu dan juga mengingatkan jauh-jauh hari. Long story short, acara Film Musik Makan 2020 jadi acara luring terakhir saya, sampai blog ini ditulis saya belum pernah mengadakan dan menghadiri kegiatan menonton film luring lagi.

Terakhir Ke bioskop pas event Parasite Black and White, Bahkan setelah itu filmnya tidak sempat tayang


Perasaan yang lain mungkin dirasakan oleh kawan saya, Timo Prassanto
seorang programmer bioskop yang sudah bekerja di bioskop bertahun-tahun. Tentu saja 9 bulan ini menghantam keras industri bioskop dan hospitality. Sejak Maret bioskop sudah ditutup, ada sebagian usaha yang mereka lakukan. Timo sempat berbagi di Instagram Live-nya beberapa bulan lalu. Mulai dari berjualan menu-menu makanan yang ada di kafenya di sejumlah e-commerce sampai juga menerima pembelian tiket in advance (yang belum tahu kapan bisa digunakan). Penjelasan Timo, bioskop bukan hanya bertahan dari mengandalkan orang menonton di ruang pertunjukannya tetapi juga keseluruhan ekosistem, termasuk penjualan makanan. Pantas saja kan harga makanan di konter bioskop bisa 2 kali lipat dibanding beli di luar dan betapa strictnya pengecekanan makanan sebelum masuk bioskop. Keberlangsungan bioskop juga tidak dengan mudah berpindah menjadi platform digital karena ada izin film yang diputar di bioskop (theatrical release) berbeda dengan izin putar di streaming online (over the top atau video on demand). Skema ini yang juga akhirnya membuat persaingan bioskop dengan platform online seolah-olah ada. Ya, memang ada tetapi tidak semudah itu Fernando! 

Di tengah segala kepusingan bertahan, ternyata Timo dan timnya justru bisa membuka satu cabang baru bioskopnya di Ashta District 8, yang kini jadi salah satu spot populer di Jakarta Selatan. Sayangnya Timo tidak bisa berlama-lama menikmati anak barunya ini tumbuh kembang. Ia ikut berkembang, pindah ke jalur digital. Untuk spot baru di Ashta District 8, Semoga tidak jadi cluster baru ya ;)

Flix Cinema di Astha District 8

 

Kembali ke soal bioskop. Ternyata bukan hanya Timo yang harus bersedih hati melihat belum ada tanda-tanda dibukanya kembali bioskop. Kinosaurus, tempat saya juga bekerja sejak Maret terakhir mengadakan program rutin regular terpaksa harus angkat kaki dari rumah pertamanya sejak 2015 di Aksara Kemang. Meskipun masih ada beberapa kegiatan pemutaran tertutup untuk privat dan juga pemutaran terbatas film Mudik beberapa waktu lalu, terlalu berat untuk bertahan di compound yang juga memiliki tenant seperti bakmi, toko vynil, toko kopi sampai toko buku Aksara yang memang menjadi flagship store. Akhir November lalu jadi momen pindahan Kinosaurus ke rumah baru yang sementara masih belum mengadakan pemutaran luring. 

New Home for Kinosaurus

 

Ketika pengumuman Kinosaurus menutup pintunya di Jalan Kemang Raya 8B, ada beberapa pertanyaan mengacu ke saya, “Sedih gak?”. Sebenarnya tidak perlu waktu lama menjawab pertanyaan itu, jawabannya “Tidak.” Bukan saya tidak sentimentil, tetapi konsep menonton dan berkelompok bagi saya lumayan banyak bergeser dari sekadar sebuah tempat. Kalau soal menonton di mana, memang bioskop tetap memberikan pengalaman menonton yang tak tergantikan. Menonton di layar kecil jadi opsi aman saat ini. Bahkan, saya sebenarnya sempat memikirkan jika mau kembali ke bioskop kapan saya akan berani. Bulan November kemarin film dokumenter BTS tayang di bioskop yang sempat membuat saya kaget juga. Ya, karena setelah naik turun izin dari Pemda DKI soal bukanya bioskop, tetiba saya dapat surel tentang tayangnya film Break The Silence ini. Sempat mengontak bioskop Cinepolis karena bisa menyewa keseluruhan ruangan dengan kapasitas di bawah 30 kursi tetapi niat tersebut saya urungkan. Tanggung jawab yang besar dan biaya yang tidak murah untuk tiket yang dijual tiga kali lipat khusus untuk film ini. Walau telat satu bulan, saya tetap bisa menonton di platform official lengkap dengan commentary dari members. 

Menengok Tetangga di Malaysia Lewat Festival Film Semester Pendek

 

Rindu menonton di bioskop, ya mungkin sedikit. Tetapi saya lebih merindukan ‘ruang’ yang diciptakan di luar menonton itu sendiri. Saat mengadakan program festival film Semester Pendek untuk mahasiswa atau terlibat di Festival Film Dokumenter akhir November lalu, sempat mengobrol panjang lebar dengan kawan yang tersebar di Jogja dan Semarang, lalu juga berkenalan dan diskusi dengan pegiat film Malaysia. Saya juga sempat berdiskusi dengan pegiat film dokumenter Asia Selatan di Dharamsala Film Festival dan Luang Prabang Film Festival. Rindu dan sedih itu yang muncul setelah sesi obrolan itu selesai. Sedih, karena kalau saja ini dilakukan secara luring tentu akan semakin dalam obrolan. Rindu, karena ini yang saya rasa kehilangan dalam pengalaman menonton saya. Bukan sekadar yang ada di layar, tetapi menikmati respon-respon penonton lain. Tentu silverliningsnya, kalau bukan karena COVID-19 bisa jadi diskusi-diskusi ini tidak sempat terjadi. 


Perdana Terlibat di Festival Film Dokumenter

 

Jadi bagaimana nasib eksibitor ke depannya? Ya saya tidak tahu. Tetapi yang perlu saya ingat dari sejumlah obrolan ini, tidak lagi bergantung pada tempat untuk bisa berkembang atau menikmati tontonan. Tempat akan selalu hilang timbul, apalagi di dunia yang serba tidak pasti. Mau bergantung pada lini digital? Bisa saja, tetapi ingat juga pemain besar tetap bisa memonopoli. Memulai dari yang kecil tentu bisa. Intinya, harus siap berinovasi dan tetap kuat mental serta tahan banting. Sudah siap?

 

Wednesday, August 19, 2020

People in Pandemic: Tanawat Asawaitthipond, Digesting Art Through Online, No More.



For almost 5 years, i've been making effort to pursue higher education through master program and any scholarship available. Not really my strenght or my luck, it's either my IELTS score missing 0.5 points or I got myself accepted in desirable university but without scholarship. Until around 2018 i realized, working in cultural and art sector for almost 9 years, I've been through quite a lot and need to level up my game. While my game not necesarily in university as student again, I might change my strategy to focusing on my network and work in particular area. I believe this way will help me better to pursue career in particular project and targeting right people towork with. Long story short, I apply for SEAD Fellowship and accepted in 2019. This program is rather a bit complicated to explain, even to understand myself until I experienced it.

So these are the steps for a year: Exchange, Create, Share and Reflect. As an individual, we represent ourselves from each country in Southeast Asia, Taiwan and ,UK as this program co-created by British Council and Mekong Cultural Hub. Each of us coming from different background related to art, culture and work with sustainable development goals. The longtern goals are to have collaboration in between fields and countries, yet explore communication through process within those four steps. And there goes, I met 9 amazing people who has similar interest with me but coming from different background.

As much I fancy another seven fellows, for now I'd like to share one profile of fellow from Thailand, Tanawat or I call him M, as the alphabet after L and before N. I met him during Exchange in Phnom Pehn, Cambodia last November. We spent almost a week for introductory session of the fellowship and whole lot more about what we do back home. What I learnt about him during our time in sunny Phnom Pehn, he works as manager for stage art performance based in Thailand, Artpedia. He works closely with artist across the country. What I also remember was his work with lights when he created one of his performances. I kind of get the idea of his signature style on how producers portray in body of works. Furthermore, stage performance works a bit different with film which I work with on regular basis. Technicalities on stage might stay the same but those styles can embodied the journey of the artists themselves. Until our last day together before I embark from Cambodia, he told me about his upcoming activities with Japan Foundation in Yokohama and another one in Chiangmai. I was looking forward to hear more on the next stage we will meet, Share in Bandung, Indonesia. That was supposed after he's  done with his Create part of this fellowship to Vietnam while me and team went to Myanmar. I can't wait to hear complete experience about all of that.

But then, Covid-19 just arrived right after I finished Create part in  Myanmar and unfortunately M's team failed to complete their trip and project in Vietnam. I was curiousabout he's other project and also his condition. From what I saw from his Facebook after came back from Japan, he has to do several health test, not sure whether it's related to Covid-19 or not. Then I talked again to him, after we did Share part online, since we cannot fly and meet each other.  A bit explanation about Artpedia, as 10 Fellows of SEAD consist of artist and manager- as in the one who manage either artwork or any project related to culture or SDGS, I found myself similar with M. His work with Artpedia covers relationship between performing artists and exhibitions. People like M has responsibilities to initiate the program or project, curate artists and artistic approach they want to exhibit, also to engage more into other stakeholders like fund raising or grants. The work between management and creative side need to balance, yet to take into more neutral position so both side can feel satisfied. From what M share and I read, Artpedia tries to facilitate both needs of artist and prospectives collaborator on performing arts. Since live and work in Southeast Asia country, especially like in Thailand where art is  already rich within the local culture but yet another forms of modern arts still struggling to penetrate mass audience. Not a secret how open Thailand for any kind of art; music, films, or performing arts, even for LGBTQ content where is not easy to express in my country. But yet, not a secret as well how censorship become boundaries for artist to express their freedom of speech. When I asked, have you ever experience this kind of situation during preparing performance? "We had. There was one time, someone talk over to authority about show I saw and suddenly they came to inspect. Some shows are censored or team were threatened by Military government if it may include political criticism in the show. It happened both in text based and movement-based" M explained.

Before all this global pandemic strikes, M joined the program Living a collaboration of four artists from Thailand, Japan, Malaysia and Korea held in Chiangmai where Artpedia took role as producer. This is one of collaborative project where collaborators evolve a performance from living being in earth. Not so far from that, M traveled to Japan to accomplished Performing Arts Meeting or TPAM 2020 invited by the Japan foundation in Yokohama. Over 40 artists from Asia Pacific region gather to celebrate arts and seek opportunity through this meeting. For M himself, experience like this not only accomodate his needs to travel - to enrich vision on how he's project his works through space but also through people. "During this difficult time, everything is online. Eventhough some of is actually proved that art can be consumed in any forms, I found out it's hard. It's lacking of human interaction, face to face communication. And that's one is missing in the past four months" He mentioned, during our conversation, online back in July. He also explained, some of projects he might loses because either its cancelled or postponed. "Some of our project postponed it to unknown time in the future. I gotta say, if they say to do it rather online, I might want to re-think about it" He laughed. It's not that I disagree, but I have the same feeling with him about this. Not everything can have experience through online even though it helps to connect with no limitation. Another thing I asked M about his income beside producing stage performance; because again one of the objective of this interview is to see on how people make effort to keep themselves alive, sane and earn living through this unforeseen circumstances.

I just knew that M owned a business focusing on education. "It keeps me to earn money during this time" He explained. Another hustle that any striving artist needs to balance is to have side hustle, where fortunately might bring more to keep them more than enough to put food on table. I can sense M and his troops can bounce back faster than me here in Indonesia. "Restaurant and malls are starting to open in Bangkok and no more curfew. I actually enjoy night time driving in an empty street. It's relieving!"M said happily. So what next? "Preparing more into my personal project. It's about sustainble method and approach project to support performing art in long term and initiate culture of people acknowledgement"


Tanawat Asawaitthipond is an emerging stage performance producer born in 1988 and live in Bangkok. Graduated from Thammasat University (International Economics, Thailand) and Yonsei University (Economics major & Korean language and culture as minor, South Korea). 

He's a fellow in SEAD 2 and member of Artpedia,Thailand.

Picture credits: Tanawat Asawaitthipond personal properties & Jennifer Lee (Mekong Cultural Hub)

#SEAD2 #artsforchange #sgds



Monday, June 29, 2020

People in Pandemic: Rizyan Angga, Mendulang Emas dari Bekasi, Qatar sampai Munduk

Boleh dibilang, saya tidak begitu akrab dan berinteraksi secara dekat denggan kawan yang saya kenal di SMA ini. Rizyan Angga, atau biasa saya panggil Izzy,sesuai namanya anaknya sangat easy going. Kami lumayan banyak berinteraksi ketika ia menjadi Ketua Panitia event tahunan sekolah alias pentas seni yang begitu hits di zamannya, KLASSIX. Saya-kalau tidak salah bertanggung jawab menjadi panitia dekorasi. Lepas SMA tidak pernah lagi saya dengar kabarnya, selain di pergaulan ibukota karena Izzy juga dikenal di lantai dansa sebagai DJ. Sampai ketika ia mulai menjalin hubungan dengan sahabat saya, Rara dan akhirnya menikah beberapa tahun lalu. Izzy yang saya tahu selain easy going, juga easy to talk to. Biasanya kami hanya berjumpa satu tahun sekali di acara buka puasa teman-teman SMA, tapi masih bisa catch up beberapa topik diskusi yang menyenangkan.

Di masa pandemi ini, tanpa acara buka puasa bersama bukan berarti tanpa diskusi. Saya tertarik menggali lebih jauh bagaimana usaha dia terbaru. Beberapa tahun lalu, Izzy dan Rara sudah sempat berencana pindah ke Qatar karena tawaran kerja datang ke Izzy. Saya ingat Rara menceritakan sembari perjalanan dadakan kami ke IKEA, menemani dia belanja untuk kliennya. Kebetulan Rara menjalankan bisnis desainer interiornya, Sienna. Di tengah-tengah pikiran soal pindah ke negara orang yang sangat asing,bagaimana anak semata wayangnya beradaptasi dan juga proses adopsi anjing Labradornya ke orang lain, kami sempat mengkhayal babu untuk bisa pergi bersama. Kebetulan saat itu saya sempat ada rencana terlibat dalam program musim panas di Mesir. Tahun berganti dan satu anak laki-laki lagi kemudian, Rara dan Izzy tidak pernah pindah ke Qatar. Izzy sempat tinggal di sana beberapa bulan namun perjanjian kerja di sana hanyalah jadi angan-angan belaka. Saya pun tergoda untuk mengkonfirmasi tentang apa yang sebenarnya terjadi, "Jadi waktu itu sebenernya gimana sih Zy?" tanya saya. Izzy lumayan panjang menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan saya, wajahnya sedikit tersenyum getir. "Intinya gak berlanjut karena gak terbuka partner gue ini. Ini bisnisnya berbasis teknologi, ya kalo mau dikasih contoh mirip Gojek. Mereka mau coba sistemnya, tapi aplikasinya di UEA belum ada bayangan. Makanya gue mau coba." Ternyata belum rezeki, partner bisnis yang menemukan Izzy lewat LinkedIn ini tidak melanjutkan kolaborasinya.

"Makanya kemarin rumah di Bekasi kita jual, pindah ke apartmen ini" Ungkapnya juga, menanggapi situasi yang lumayan menantang pasca Qatar. "Apalagi (setelah itu) Rara lahiran Arka (anak keduanya) kan? Wah gila sih.." Keputusan pindah dari landed-house ke apartemen dengan kondisi punya dua anak juga bukan hal mudah. Saat itu Izzy sedang mengembangkan bisnis usaha kopi lewat perkebunan kopi di Bali. Sejak akhir tahun, rancangan bisnis kopi ini memang sedang dalam proses. Sampai ketika siap dirilis ke publik, pandemi datang. "Padahal gue udah siap-siap Na, meluncurkan produk kopi ini!" jawab Izzy ketika saya tanya apakah jualan kopi adalah survival kit di kala pandemi. Menjual produk kopi dalam bentuk biji kopi, cold brew sampai drip bag awalnya memang menjadi bisnis utama, namun banyak yang harus disesuaikan ketika pandemi ini muncul dan menengelamkan banyak industri. "Kita semua masih rumahan, dari mulai proses menggiling, cold brew sampai packing dilakukan sendiri sesuai dengan protokol kesehatan standar. Untuk desain dan branding, ada partner gue di Malaysia yang memang bantu ini." Izzy juga meluaskan etalase penjualan di e-commerce untuk mengenalkan kopi Allure ke pecinta kopi. Ketika ditanya, bagaimana struggle dengan kompetisi dunia perkopian di Indonesia, Izzy cukup yakin dengan produknya dan rencananya akan lebih menggandeng rekanan untuk usaha B2B seperti kedai kopi atau restoran. Selain varian kopi arabika dan robusta yang ada di Allure, Izzy mencoba mengangkat kopi dari kampung halamannya Pagaralam, Sumatera Selatan. "Masih banyak yang belum tahu kopi Maung Dempo, ini kopi robusta yang rasanya peanut, earthy dan ada hint of caramel."
 

Satu hal yang ia sebut sebagai keberuntungan, mendapat harga tanah di Munduk, Bali yang cukup 'miring' dan jadi investasi bagus untuk perkebunan kopi. Bisnis ini diharapkan bisa melanggengkan fair trade kepada petani kopi di Indonesia. "Banyak banget petani di Bali yang ternyata gak bisa mengelola tanah sendiri, jadi memang investor lokal bisa banget bantu mereka dengan harga yang masih bersahabat." tandasnya sambil tak lupa berkelakar mengajak saya ikut berinvestasi di perkebunan kopi di Bali, "Jadi makin punya banyak alasan  buat mampir ke Bali kan?"
.

Wednesday, June 10, 2020

People in Pandemic: Asmayani Kusrini, Tak Bertemu Festival Film dan Proses Lahiran yang Tertunda

Kali ini saya ngobrol sama kawan jauh dan memintanya bercerita untuk tulisan kali ini. Sebenarnya lebih tepat menyebut mbak Rini, sebagai senior dibandingkan kawan. Awalnya saya tahu namaya sebagai satu-satunya penulis perempuan di Rumah Film, situs kritik film yang lumayan jadi acuan saya ketika membaca film dan belajar menulis review film. Kami sempat rutin berkirim surel ketika Rini bersama beberapa rekannya membuat majalah bilingual yang membahas film Indonesia dan internasional bernama Fovea tahun 2012. Saya coba membantu menulis di beberapa edisi majalah tersebut meskipun tidak berlangsung lama. Berhubung beliau berdomisili di Brussel, kami tidak pernah bertemu sampai sekitar tahun 2013/2014 saat ia berkunjung ke Jakarta.

Namun diskusi panjang dan obrolan kami yang cukup intens terjadi ketika saya mampir ke kota tempat tinggalnya di pertengahan tahun 2016 lalu. Banyak hal-hal seputar film yang ia bagi dengan saya selama hampir seminggu saya di Belgia, dan lebih banyak juga hal di luar film yang sempat kami bahas. Di tengah pandemi, sempat 'reuni' digital dengan Rini ketika ia dan rekanan Rumah Film reuni membahas buku tilas kritik film yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Saya rasa ini juga saat yang tepat kembali menyapanya meskipun terpisah jauh di benua Eropa sana.

"Na, caranya bikin podcast gimana ya?" Ini merupakan kalimat pertama yang ia tanyakan setelah menjawab apa kabar dari saya. Agak terkejut ketika ia menunjukan ketertarikannya akan bursa dunia siniar. Ternyata salah satu kawannya berniat membuat siniar seputar dunia seni. Ia pun berniat mengenalkan kami berdua supaya bisa berkolaborasi, mengingat saya juga berusaha rutin membuat episode siniar Cinema Paradisco di jaringan Podluck Podcast. Ketika bercerita seputar bagaimana suasana di Brussel selama masa karantina dan bagaimana ia menghadapi situasi tak tentu ini, ternyata ada banyak situasi yang harus dihadapi sebagai penulis dan juga seorang ibu. "Anak gue libur dan sekolah di rumah, tapi kayanya susah banget punya me-time sebagai ibu. Liv - anak perempuannya, masih butuh gue meskipun cuma buat siapin makan atau dengerin musik." Bagi Rini ada waktu-waktu yang membuat konsentrasi melakukan satu hal harus terbagi-bagi meskipun seolah-olah masa karantina adalah masa yang banyak waktu. Kami coba menelusuri tontonan apa yang jadi ketertarikan dimulai atau ditonton ulang. "Gue belom mulai sih nonton drama Korea" ucap saya. Ternyata Rini menanggapi hal yang sama dengan saya, belum mulai satu seri Korea Selatan apapun. "Gue nonton film-film lama nih sama suami gue. Menonton ulang film Eropa Timur, atau film-film 70-80an seperti Sorcerer, Alien atau Terminator. Sepertinya memang cocok lagi suasana kaya gini malah nonton film yang ngebahas human salvation"

"Drama Korea sebenernya cocok ya memang ditonton saat ini, yang ditawarkan ceritanya eskapis." Saya cukup tertegun lalu seperti mengangguk setuju. "Bener juga ya, perasaan yang dihasilkan rasanya senang setelah nonton dra-kor. Tapi gak nyata ya?" Tambah saya. "Iya kan? Gak usah dipikirin setelahnya dan after tastenya menyenangkan. Jadi bisa saluran 'melarikan diri' sejenak kan." Saya lanjut mengangguk-angguk. Kamipun sepakat menonton drama Korea perlu keberanian dan energi lebih, terutama jika berakhir kecanduan dan tak bisa berhenti.

Soal situasi karantina di Brussel sendiri, Rini menggambarkan bisa dibilang cukup ketat. "Tapi banyak yang bandel. Misalnya di taman, banyak yang piknik padahal kan gak boleh berkumpul. Jadilah polisi membubarkan mereka semua." Saya juga sempat melihat Rini dan Liv mencari udara segar serta matahari di luar rumah. Tentunya kebosanan tak bisa dihindari ketika harus 24jam di dalam rumah. Diam-diam, Rini ternyata punya deadline yang harus dipenuhi terkait tulisan terbarunya. "Ini ternyata susah dikerjain selama lockdown. Jadinya gak maju-maju nulisnya padahal deadline tulisan ini sudah lumayan mepet." Ujar Rini yang ternyata sudah berencana merilis tulisan terbaru dalam bentuk novel tahun ini.

Setiap tahun, ketika festival film bergengsi diadakan dalam rentang bulan Februari sampai Agustus, Rini juga sempat meliput beberapa tahun terakhir. Keahlian menulis dan juga latarnya sebagai jurnalis, memberikan kesempatan untuk hadir di Cannes Film Festival, Venice
Film Festival dan juga Rotterdam Film Festival. Rini sempat mewawancara beberapa sineas, seperti Jafar Panahi (Taxi) dan Marjane Satrapi (Persepolis) dua sutradara asal Iran. Pandemi yang meluas sejak Maret ini mempengaruhi festival film untuk akhirnya meniadakan acara tahunan mereka, termasuk Cannes Film Festival yang merupakan festival film terbesar di dunia. Akhirnya, beberapa festival film pun bersatupadu mengadakan We Are One: Global Film Festival secara daring di Youtube. Bagi Rini sebagai cinephile hardcore, festival film online dirasa jauh dari suasana festivitynya. "Dari semua film di We Are One, gue cuma nonton satu, film Jerman tahun 60-an kalo nggak salah, judul Inggrisnya No Return Ticket. Tapi ya itu kan film-film yang asyiknya nonton di bioskop. Nonton di laptop melelahkan!" ungkapnya.

Di Brussel sendiri, sang suami yang bekerja sebagai psikiater di rumah sakit, harus tetap bekerja dan waspada karena rumah sakit menjadi satu dengan klinik umum. Hal yang sempat terlupa, soal mobil yang sudah mulai jarang dipakai dan diurus. Akhirnya terpaksa harus ganti aki mobil dan beberapa hal perlu diperbaiki. "Untuk dokter atau pekerja medis mendapat beberapa servis gratis, termasuk reparasi mobil ini sebagai kompensasi." Bagi penduduk Belgia, banyak keringanan didapat lewat social security system, terutama untuk para pekerja yang toko atau usahanya harus tutup sementara. Ketika ditanya apa ada rencana-rencana yang tertunda karena COVID-19? "Harusnya aku pulang ke Indonesia!" ungkapnya dengan kekecewaan. Setelah menetap lebih kurang 12 tahun di Eropa, setiap tahunnya Rini mencoba menyempatkan pulang ke kampung halamannya di Makassar. Dengan semua yang gagal dilakukan selama tiga-empat bulan terakhir, ada harapan kecil di tengah pandemi ini. "Buku bisa selesai dan segera rilis ya!"

Monday, May 18, 2020

People in Pandemic: Amanda Tasning, Mengajar Yoga Sambil 24 jam Memantau Anak

Salah satu kegiatan yang masih saya lakukan meskipun di tengah pandemi adalah olahraga yoga. Saya ingat masih dalam pekan terakhir sebelum akhirnya saya melakukan karantina mandiri, saya masih mendaftar salah satu kelas yoga di tempat langganan saya. Dengan situasi normal, saya biasa ke studio yoga 3-4 kali seminggu termasuk kelas yoga grup private di rumah. Selama pandemi, semua kegiatan olahraga tentu masih tetap saya jalankan demi menjaga badan tetap bugar dan kewarasan juga. Hal yang saya rindukan tentunya energi di dalam kelas-meskipun saya sangat anti sosial di kelas, alias jarang ngobrol sama teman sekelas, dan juga adjustment dari guru-guru yang membetulkan postur selama kelas.

Forever Student (IG @amandatasning)
Bicara soal guru, saya cukup pemilih. Yoga dimulai tahun 2010, dengan beberapa teman yang memanggil guru (yang masih teman juga) di sebuah kafe di Senopati. Lalu di tahun 2012 saya berkenalan dengan Dini Maharani, berlatih di rumahnya di Pejaten. Sempat terhenti karena pekerjaan saya yang tidak memungkinkan yoga di pagi hari. Kemudian saya berlatih di Tangerine Wellness selama intensif karena dekat dengan kantor di Gunawarman. Sampai hari ini, bisa dibilang tiga tahun terakhir adalah waktu terintensif saya berlatih yoga dengan studio hopping ke sana ke mari. Kalau boleh jujur dari semua perjalanan saya dengan guru-guru yoga, saya merasa paling klop dengan guru-guru lulusan Dini Yoga, on the mat dan off the mat. Perlu postingan khusus untuk menjelaskan preferensi itu tapi nanti kita kembali ke topik itu ya!

Untuk saat ini, saya sudah cukup bisa memahami kebutuhan fisik saya dan juga spiritual lewat yoga. Bukan usaha sebentar, tapi mengenal diri sendiri bertahun-tahun memberikan cukup rasa legowo, dan juga soal penerimaan diri tanpa perlu validasi orang lain. Salah satu guru yoga yang saya ikuti kelasnya selama dua tahun terakhir adalah Amanda. Saya pertama kali ikut kelas dia saat yoga marathon sebagai kelas praktik dari rangkaian Dini Yoga Teacher Training lalu dalam beberapa obrolan ternyata beberapa irisan ada dalam kehidupan sosial kami, termasuk bekerja di gedung Aksara. Amanda di Ganara saya di Kinosaurus. Jadilah semakin sering bertemu dan semakin rajin ikut kelasnya. Bisa dibilang, kelas Amanda ini 'pedas pedas nikmat'. Fokusnya di core yang membuat perut bergetar, namun di akhir sesi pasti rasa nagih itu muncul. Jadi lupa kalau hampir sembilan puluh menit sebelum savasana (pose akhir relaksasi) kami sekelas dihajar latihan yang menguras keringat dan memicu kardio.

Selama masa pandemi, saya tetap coba aktif dan konsisten ikut kelas yoga termasuk kelas Amanda. Di sela-sela mengajar ternyata banyak penemuan baru bagi Amanda, termasuk usaha-usahanya bertahan di antara bisnis serta kehidupan di rumah. Saya tahu Amanda dan suaminya memiliki beberapa usaha di bidang F&B, Amanda sendiri juga punya studio olahraga yang merupakan bisnis bersama kawan-kawannya. "Banyak banget yang berubah dari rencana kita tahun ini." Amanda mengaku tahun ini berencan membuka satu properti baru yang juga akan digunakan sebagai studio yoga. Nampaknya rencana tersebut harus ditahan dulu. Selain itu, bersama beberapa rekannya, ia juga mengelola studio olahraga, Breathe di bilangan Senopati yang menawarkan tidak hanya yoga tetapi juga

barre, mat pilates dan lainnya. "Breathe tutup. Tapi kita coba buka kelas online yang unlimited buat member". Kelas Breathe At Home, mematok harga Rp 300.000 saja sebulan untuk akses tidak terbatas dengan dua kelas setiap harinya. Sistemnya juga dibagi rata untuk guru-guru yang mengajar jadi semua bisa kebagian. "Kalau pekerja studio lainnya gimana?" tanya saya. Amanda dan rekan bisnisnya di Breathe tetap mencoba mempekerjakan cleaner dan staff finance selama studio tutup. "Bersih-bersih studio tetep aja ada, kan berdebu kalau kelamaan ditinggal ya" ujar ibu dua anak ini. "Breathe ini sebenarnya baru aja naik lho, dan bisa dibilang incomenya lagi peak. Terus kita harus hadapi ini semua, yaudah mau gimana? Yang penting masih bisa ada pemasukan deh!"lanjutnya.

Amanda mengajar di hampir lima studio berbeda di Jakarta. Situasi PSBB yang menyebabkan semua studio tutup tidak membuat kesibukannya terhenti. "Buka online class gini enak juga lho! Jadi gue ngajar sambil liatin anak gue ada di mana. Selama ini gue ngajar kan ngejar waktu, pindah sana sini. Nyetir sendiri atau naik MRT dan ojek. Sekarang jadi 24 jam di rumah, ngajar tetap jalan dan bisa tetep deket sama anak-anak". Ternyata perks lain dari situasi karantina di Jakarta yang selama ini macet membuahkan berkat juga. Ditanya apa hal baru yang ia ketahui dari anaknya selama terus menerus mendampingi anaknya yang mulai pre-school belajar, jawabnya "Ternyata anak gue yang gede, harus banget diliatin kalo belajar. Kalo gak dia bisa ketiduran! Gurunya kan lewat internet jadi gak bisa bangunin dia kan?". Untungnya juga Amanda mengaku punya support system yang mendukung, meskipun dekat dengan anak-anak ia tetap bisa meninggalkan mereka ketika harus mengajar 1-2 jam dalam sehari. Untuk Amanda penting juga punya sedikit me-time, walau terbatas "Kalo gak, seharian di rumah sama orang yang sama selama 24 jam bisa bikin berantem lho!"kelakarnya.

Apalagi usaha Amanda untuk mengurangi beban pikiran dan menambah pemasukan? "Akhirnya gue ke dapur. Bikin cemilan dari nostalgia childhood di Australia, hedgehog dan lemon slice." Lewat Instagram, Amanda mencoba menjajakan Slice, produk cemilannya, dari mulut ke mulut. "Awalnya gue kirim-kirim dulu lah ke orang-orang. Cobain, enak gak? Kan gue yang bikin, kalo menurut gue enak, jangan-jangan buat orang lain gak enak lagi! Hahaha.." Di pekan terakhir Ramadan ini Amanda juga mencoba peruntungan lewat penjualan hampers bersama salah satu studio tempat ia mengajar, MOOD Jakarta. "Lumayan juga, bisa nambah buat uang jajan dan THR lah ya!"tegasnya menutup obrolan kami.

** Amanda mengajar yoga dengan style Ashtanga dan Vinyasa di Breathe dan beberapa studio lainnya. Ia juga mencoba peruntungan dengan menjual cemilan khas Australia di akun Slice sembari mendukung bisnis sang suami Po Noodle Bar.

Tuesday, May 12, 2020

People in Pandeminc: Suri Annisa, Ketika Ibu Bos Daycare Turun Ke Dapur

Tulisan kedua di People in Pandemic, salah satu unggahan ibu-ibu yang wira-wiri di linimasa saya adalah kawan lama Suri Annisa. Kenal sosok perempuan yang satu ini sejak 2007 di sebuah hajatan pemilihan duta pariwisata yang diadakan di Jakarta Pusat. Bisa dibilang kami sedekat itu dulu dan beberapa tahun kemudian. Icha, sapaan akrabnya, kemudian disibukan dengan keluarganya dan usaha childcare-nya, KiDee. Ingat sekali saya ketika ia merintis usahanya bersama partner bisnisnya, ia baru memutuskan tidak lagi bekerja dan fokus mengurus keluarga. Namun, jiwa Icha yang lulusan jurusan pendidikan di Universitas Atmajaya tidak membuat dia bisa diam dan tetap ingin mengembangkan kemampuan sebagai pendidik. Suaminya, Edu pun mendukung lebih jika bisa dilakukan sendiri alias wirausaha. Cerita awal struggle Icha saya dengarkan sambil menikmati berpiring-piring sushi di Pondok Indah Mall. Enam tahun kemudian, KiDee sudah punya tiga cabang di Senopati, TB Simatupang dan Bintaro.



Serindu itu bertemu manusia lain, obrolan kami di satu pagi ini jadi ajang kangen-kangenan, termasuk melihat rumahnya di bilangan Depok. Sekitar tahun lalu, kami sama-sama sedang mengalami renovasi rumah yang cukup major. Kisah-kisah decluttering dan mengungsi di rumah orangtua saya simak di linimasanya. "Gimana KiDee Cha?" pertanyaan pertama saya ke dia. Tentu bukan hal mudah untuk wiraswasta bertahan di tengah situasi ini. "Kita coba memenuhi kebutuhan katering makanan, supaya tetap bisa menggaji pegawai kami". Dalam situasi normal, KiDee menyediakan makanan untuk anak-anak yang ada di daycare. Saat ini KiDee pun mengubah pola bisnis, makanan jadi jualan utama yang menopang bisnis saat ini. Ide ini juga muncul dari kebutuhan ibu-ibu yang di rumah, meskipun work from home ternyata memenuhi kebutuhan pangan jadi tantangan sendiri. Apalagi kalau anak perlu ditemani untuk sekolah online. Promosinya juga semua masih mulut ke mulut. "Untuk pertama kalinya, kami minta tolong sama salah satu rekanan buat bantu promosi kateringnya KiDee. Dia ini psikolog yang followernya lumayan banyak." Tidak disangka, responnya baik juga. Penjualan meningkat. "Apa selama ini memang sudah memanfaatkan promosi online?" tanya saya. "Gak pernah ada bujet buat promo online sih Na, semua baru muncul sejak pandemi ini. KiDee sendiri juga gak pake iklan, masih ngandelin word of mouth semua."

Sebagai bisnis yang bergerak di bidang hospitality sekaligus edukasi, KiDee memang lebih tepat mengandalkan servis yang mumpuni. Testimonial orangtua yang menitipkan anaknya menjadi senjata utama untuk menggaet calon orangtua-orangtua lainnya. Icha mengakui, bisnis daycare ini tak terduga dan rawan stres. Merawat anak-anak usia dini bukan hal main-main, keselamatan,keamanan, kesehatan dan juga kenyamanan anak serta orangtua adalah yang utama. Masalah anak sakit yang bisa menulari anak lain atau sakit karena konsumsi makanan kurang baik wajib ditelusuri dan mendapat perlakuan khusus. Icha dan partnernya, Irna benar-benar mengontrol secara serius area ini. Icha mengakui, hal utama yang ditanyakan calon orangtua anak-anak KiDee selain program adalah CCTV dan bagaimana aksesnya. Sejak semua kebutuhan nutrisi, edukasi dan keamanan ini ada di genggaman KiDee, popularitas serta kredibilitas diakui makin tinggi. Ketika saya mulai menanyakan urusan 'dapur' Kidee, Icha mengaku sudah cuan setelah masuki tahun ketiga. Ditanya bagaimana dengan antisipasi dampak COVID19 ini, "Untungnya kami membagi keuntungan di akhir tahun. Jadi segala keperluan sudah terpenuhi, baru share dibagi." Icha juga merasa di situasi seperti ini sistem ini sangat membantu. Ia juga mengaku semua jajaran manajemen KiDee ikut turun ke dapur membantu staff KiDee yang kini diberdayakan untuk menyiapkan katering pesanan. "Biar cepet kelar masaknya kalau rame-rame.."ungkapnya disertai gelak tawa.

Icha sendiri cukup menikmati #dirumahaja selama karantina dan PSBB diberlakukan. "Tapi gue harus banget keluar rumah sesekali, mau cuma beli jajanan atau keluar kompleks. Bosen kalo gak." Dari mulai belanja keperluan sampai jajan yang iseng, nampaknya bisa jadi 'penyembuh' di kala hari-hari yang tidak lagi sebebas 60 hari lalu. Icha juga banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama suaminya yang juga sibuk work from home dan anak perempuan, yang harus sekolah dari rumah. "Satu hal yang gue sadari selama 24 jam bersama anak gue, ternyata dia sudah hampir remaja". Icha mengaku ada kekhawatiran, ia melihat anaknya masih sangat 'bocah'. Tontonannya masih Disney atau Paw Patrol, tapi sudah sadar akan adegan ciuman misalnya sedang nonton bareng dan  dia akan tutup mata. Buat Icha, gerak-gerik putri berusia 8 tahun ini sudah menunjukan remaja yang sudah sadar akan lawan jenis. "Dia udah malu kalau ganti baju di depan ayahnya. Pernah juga cerita soal salah satu cowok di sekolahnya dengan malu-malu, cowok yang konon suka ngeliatin dia" ungkap Icha sambil tertawa.


"Aduuh.. gue udah hampir masuk ke masa-masa bahas ginian nih sama anak gue!"
Mungkin masa-masa karantina ini, Icha dan Edu bisa jadi waktu yang tepat menyiapkan diskusi soal dunia remaja sampai sex education untuk sang anak?

**KiDee Childcare ada di tiga cabang di Jakarta; Senopati, Graha Elnusa TB Simatupang dan Bintaro. Selama masa pandemi, Kidee juga melayani katering sehat untuk anak-anak via Instagram.

Saturday, May 9, 2020

People in Pandemic: Hally Ahmad, Stress Abis Kabur Ke Bali



Edisi perdana People in Pandemic (PIP) ini saya coba mereach-out kawan yang dulu juga merangkap sebagai teman kerja dan tetangga. Mungkin tepatnya kami jadi berteman setelah bekerja bareng lalu kemudian dia menyewa rumah belakang punya nyokap. Hally Ahmad, saya tahu dari Q Film Festival lalu dia membantu saya di JIFFEST tahun 2013. Keahliannya event, budget, dan nego. Setidaknya itu di mata saya. Bonus lainnya, dia teman juga yang sering menasehati saya. Saya biasanya nurut saja apa kata dia. Dulu zaman dia masih sewa rumah belakang, kadang-kadang jalan malam cari Indomie di warkop juga sering terjadi. Sekarang dia sudah pindah ke apartemen di wilayah Jakarta Selatan, jadilah teman jajan malam-malam saya berkurang. Hally sudah empat tahun merintis usahanya di bidang galeri seni, Senimart.

Awalnya Hally dan partnernya, Bintang membuat Senimart untuk mempermudah akses galeri seni konvensional yang sudah ada. Sejauh ini kita mengenal galeri seni sebagai tempat pameran dengan segala instalasi dan juga tempat transaksi benda seni. Hally merasakan kebutuhan galeri yang sifatnya lebih simpel dan bisa banyak menghemat waktu, yaitu galeri online ini. "Jakarta kan dulu macet ya!".
Selain menjadikan platform ruang pamer dan jual beli hasil karya seniman, Senimart juga mulai membuat event-event seni yang bekerjasama dengan seniman, ruang pamer atau brand. Saya ingat datang ke salah satu pembukaan acara pameran lukisan Goenawan Muhammad di Hotel Monopoli tahun lalu dan juga cerita perjalanan kolaboratif Senimart ke Swiss serta beberapa kota lain di Eropa.
"Harusnya bulan ini ke depan jadi waktu terpadat Senimart, kita ada pameran terakhir sama Naufal Abshar Maret lalu. Sebelum akhirnya ada peraturan gubernur yang melarang semua acara" ujar Hally. "Waktu itu harusnya ada event offline bahkan sampai Juli bisa dibilang semua event ya ditunda dulu".

Hally mengaku sempat 'kabur' ke Bali. Waktu itu saya ingat, mewanti-wanti sebaiknya membatalkan niat bepergiannya itu. Tapi ternyata dia nekat tetap pergi selama lebih kurang lima hari. "Tau gak? Gue sebenernya meeting. Ada meeting dengan asosiasi dan hotel di sana. Sialnya, mereka batal datang ke Bali yang dari Jakarta. Jadilah gue pake jalan-jalan aja di Bali seminggu. Nyesel sih, karena sebenarnya bujet itu bisa menyelamatkan gue di situasi sekarang." Sebagai salah satu tim manajemen di Senimart, Hally mengaku pelit kalau urusan uang kantor. Semakin hemat, semakin baik.Mungkin ini buahnya berhemat ketika akhirnya pemasukan makin menipis dan harus lebih kreatif putar otak demi tetap menggaji dua karyawannya. "Yang penting rodanya harus berputar. Walau kita harus usaha lebih keras, mungkin dapatnya lebih kecil. Aset apa yang kita punya buat tetap jadi program. Yang penting seniman bisa tetap bisa kerja dan dapat pemasukan."

Di Bali selama lima hari bukan pemandangan ideal di situasi pandemi, Hally merasa tertampar melihat situasi di Pulau Dewata itu. Ia menginap di daerah ramai di Seminyak, hari ke hari ia melihat satu persatu toko tutup. Ia melihat klub kenamaan perlahan-lahan menjual furnitur di jalanan. Ia melihat manusia-manusia duduk di jalanan dan menangis karena kehilangan pekerjaan. Ia bahkan didatangi seorang turis. "Dia nanya, gue ngapain di Bali? Gue jawab, Kerja" Lalu kemudian ia mendapati sang turis itu menawarkan diri untuk bekerja kepadanya. "Miris banget, ini yang akhirnya membuat gue langsung mengunci diri di rumah. Gue belum keluar rumah sejak dari Bali itu" ujarnya.


Di tengah semua usahanya tetap mengaktifkan Senimart lewat program Potraits Against Corona atau berbagai bincang Live di Instagram, ia merasa juga perlu kewarasan sebagai mahluk sosial. "Gue tinggal di apartemen ukuran 36m2, sendiri. Kalo gak meeting, gue gak ngomong sama orang lain" Saya goda, "Sudah ngomong sama tanaman?". Ia tertawa.

Saya sempat melihat ia rajin memasak,saya mau pesan opor ayam buatannya.
"Gue masak buat orang-orang (apartemen) sini aja sih. Atau ada temen lain juga gantian masak.Misalnya hari ini gue masak buat makan siang sama malam, tapi porsinya buat berdua-bertiga. Nanti kapan gantian temen gue yang masak. Atau kalau emang lebih gue kasih tetangga atas bawah aja." upaya memasak bersama atau bergantian sepertinya cukup bisa jadi penawar stres.

"Ternyata masak sendiri semurah itu ya? Gue belanja 50ribu bisa dua kali makan, porsinya banyak." Saya tertawa, mengingat kalau makan sama Hally gak bisa hanya sedikit dan betapa dia ngomelnya kalau saya ajak beli minuman bobba atau dessert lucu, komentarnya "Makanan lucu-lucu lo gak bikin kenyang!". "Kebayang ya selama ini makan seratus ribu di mal itu udah minimal banget. Belom ngopi." Tambahnya. Jujur, ia merindukan duduk sendiri di coffeeshop ramai tetapi sukses membuat dia menyelesaikan beberapa proposal dalam beberapa jam. Keheningan di antara keramaian, mungkin banyak teman-teman yang juga merindukan.

"Gak apa makan hemat, yang penting gue tetep bisa beli skincare di Tokped!" Tandasnya diakhiri dengan gelak tawa kita berdua.

** Mari berpartisipasi di Potrait Against Corona dan Kataseni Senimart lewat Instagram @senimart_id


What I Learn From: BTS Meals, Tokopedia, Mad Beauty and Everything "In The Name of BTS"..

Teaser kolaborasi BTS x McDonalds Tulisan ini ditulis dari pengalaman pribadi dari berbagai perspektif setelah kolaborasi McDonalds dan kola...