Boleh dibilang, saya tidak begitu akrab dan berinteraksi secara dekat denggan kawan yang saya kenal di SMA ini. Rizyan Angga, atau biasa saya panggil Izzy,sesuai namanya anaknya sangat easy going. Kami lumayan banyak berinteraksi ketika ia menjadi Ketua Panitia event tahunan sekolah alias pentas seni yang begitu hits di zamannya, KLASSIX. Saya-kalau tidak salah bertanggung jawab menjadi panitia dekorasi. Lepas SMA tidak pernah lagi saya dengar kabarnya, selain di pergaulan ibukota karena Izzy juga dikenal di lantai dansa sebagai DJ. Sampai ketika ia mulai menjalin hubungan dengan sahabat saya, Rara dan akhirnya menikah beberapa tahun lalu. Izzy yang saya tahu selain easy going, juga easy to talk to. Biasanya kami hanya berjumpa satu tahun sekali di acara buka puasa teman-teman SMA, tapi masih bisa catch up beberapa topik diskusi yang menyenangkan.

Di masa pandemi ini, tanpa acara buka puasa bersama bukan berarti tanpa diskusi. Saya tertarik menggali lebih jauh bagaimana usaha dia terbaru. Beberapa tahun lalu, Izzy dan Rara sudah sempat berencana pindah ke Qatar karena tawaran kerja datang ke Izzy. Saya ingat Rara menceritakan sembari perjalanan dadakan kami ke IKEA, menemani dia belanja untuk kliennya. Kebetulan Rara menjalankan bisnis desainer interiornya, Sienna. Di tengah-tengah pikiran soal pindah ke negara orang yang sangat asing,bagaimana anak semata wayangnya beradaptasi dan juga proses adopsi anjing Labradornya ke orang lain, kami sempat mengkhayal babu untuk bisa pergi bersama. Kebetulan saat itu saya sempat ada rencana terlibat dalam program musim panas di Mesir. Tahun berganti dan satu anak laki-laki lagi kemudian, Rara dan Izzy tidak pernah pindah ke Qatar. Izzy sempat tinggal di sana beberapa bulan namun perjanjian kerja di sana hanyalah jadi angan-angan belaka. Saya pun tergoda untuk mengkonfirmasi tentang apa yang sebenarnya terjadi, "Jadi waktu itu sebenernya gimana sih Zy?" tanya saya. Izzy lumayan panjang menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan saya, wajahnya sedikit tersenyum getir. "Intinya gak berlanjut karena gak terbuka partner gue ini. Ini bisnisnya berbasis teknologi, ya kalo mau dikasih contoh mirip Gojek. Mereka mau coba sistemnya, tapi aplikasinya di UEA belum ada bayangan. Makanya gue mau coba." Ternyata belum rezeki, partner bisnis yang menemukan Izzy lewat LinkedIn ini tidak melanjutkan kolaborasinya.

"Makanya kemarin rumah di Bekasi kita jual, pindah ke apartmen ini" Ungkapnya juga, menanggapi situasi yang lumayan menantang pasca Qatar. "Apalagi (setelah itu) Rara lahiran Arka (anak keduanya) kan? Wah gila sih.." Keputusan pindah dari landed-house ke apartemen dengan kondisi punya dua anak juga bukan hal mudah. Saat itu Izzy sedang mengembangkan bisnis usaha kopi lewat perkebunan kopi di Bali. Sejak akhir tahun, rancangan bisnis kopi ini memang sedang dalam proses. Sampai ketika siap dirilis ke publik, pandemi datang. "Padahal gue udah siap-siap Na, meluncurkan produk kopi ini!" jawab Izzy ketika saya tanya apakah jualan kopi adalah survival kit di kala pandemi. Menjual produk kopi dalam bentuk biji kopi, cold brew sampai drip bag awalnya memang menjadi bisnis utama, namun banyak yang harus disesuaikan ketika pandemi ini muncul dan menengelamkan banyak industri. "Kita semua masih rumahan, dari mulai proses menggiling, cold brew sampai packing dilakukan sendiri sesuai dengan protokol kesehatan standar. Untuk desain dan branding, ada partner gue di Malaysia yang memang bantu ini." Izzy juga meluaskan etalase penjualan di e-commerce untuk mengenalkan kopi Allure ke pecinta kopi. Ketika ditanya, bagaimana struggle dengan kompetisi dunia perkopian di Indonesia, Izzy cukup yakin dengan produknya dan rencananya akan lebih menggandeng rekanan untuk usaha B2B seperti kedai kopi atau restoran. Selain varian kopi arabika dan robusta yang ada di Allure, Izzy mencoba mengangkat kopi dari kampung halamannya Pagaralam, Sumatera Selatan. "Masih banyak yang belum tahu kopi Maung Dempo, ini kopi robusta yang rasanya peanut, earthy dan ada hint of caramel."

Satu hal yang ia sebut sebagai keberuntungan, mendapat harga tanah di Munduk, Bali yang cukup 'miring' dan jadi investasi bagus untuk perkebunan kopi. Bisnis ini diharapkan bisa melanggengkan fair trade kepada petani kopi di Indonesia. "Banyak banget petani di Bali yang ternyata gak bisa mengelola tanah sendiri, jadi memang investor lokal bisa banget bantu mereka dengan harga yang masih bersahabat." tandasnya sambil tak lupa berkelakar mengajak saya ikut berinvestasi di perkebunan kopi di Bali, "Jadi makin punya banyak alasan buat mampir ke Bali kan?"
.
No comments:
Post a Comment