Terakhir ke bioskop di tahun 2020 mungkin…Februari? Atau.. Maret? Hmm. Bisa jadi saya tidak ingat lagi. Namun saya ingat, 10 Maret 2020 saya mengadakan acara tahunan Kolektif, Film Musik Makan di Goethe Haus. Selama seminggu sebelum acara, saya sudah khawatir acara akan dibatalkan karena COVID-19 sudah merebak di Indonesia sejak awal Maret. Sebagai orang yang terlalu khawatir dengan risk management, ada dua kemungkinan kalau ternyata acara dibatalkan, tanggung jawab dengan filmmaker untuk kemudian hari harus mengadakan kegiatan pengganti. Belum lagi beberapa vendor yang sudah dibayarkan. Tentu saja saya harus membuat plan B supaya waktu, tenaga dan uang tidak sia-sia hangus begitu saja.
![]() |
Film Musik Makan 2020, Lolos dari Cancellation di Goethe |
Kemungkinan berikutnya, soal risiko para penonton. Nggak mungkin mengandalkan mereka bisa menjaga diri sendiri 100%, jadilah harus ada usaha penyelenggara menyiapkan ini itu dan juga mengingatkan jauh-jauh hari. Long story short, acara Film Musik Makan 2020 jadi acara luring terakhir saya, sampai blog ini ditulis saya belum pernah mengadakan dan menghadiri kegiatan menonton film luring lagi.
![]() |
Terakhir Ke bioskop pas event Parasite Black and White, Bahkan setelah itu filmnya tidak sempat tayang |
Perasaan yang lain mungkin dirasakan oleh kawan saya, Timo Prassanto
seorang programmer bioskop yang sudah bekerja di bioskop bertahun-tahun. Tentu
saja 9 bulan ini menghantam keras industri bioskop dan hospitality. Sejak Maret
bioskop sudah ditutup, ada sebagian usaha yang mereka lakukan. Timo sempat
berbagi di Instagram Live-nya beberapa bulan lalu. Mulai dari berjualan
menu-menu makanan yang ada di kafenya di sejumlah e-commerce sampai juga
menerima pembelian tiket in advance (yang belum tahu kapan bisa digunakan).
Penjelasan Timo, bioskop bukan hanya bertahan dari mengandalkan orang menonton
di ruang pertunjukannya tetapi juga keseluruhan ekosistem, termasuk penjualan
makanan. Pantas saja kan harga makanan di konter bioskop bisa 2 kali lipat dibanding
beli di luar dan betapa strictnya pengecekanan makanan sebelum masuk bioskop. Keberlangsungan
bioskop juga tidak dengan mudah berpindah menjadi platform digital karena ada
izin film yang diputar di bioskop (theatrical
release) berbeda dengan izin putar di streaming online (over the top atau video on
demand). Skema ini yang juga akhirnya membuat persaingan bioskop dengan
platform online seolah-olah ada. Ya, memang ada tetapi tidak semudah itu
Fernando!
Di tengah segala kepusingan bertahan, ternyata Timo dan timnya justru bisa membuka satu cabang baru bioskopnya di Ashta District 8, yang kini jadi salah satu spot populer di Jakarta Selatan. Sayangnya Timo tidak bisa berlama-lama menikmati anak barunya ini tumbuh kembang. Ia ikut berkembang, pindah ke jalur digital. Untuk spot baru di Ashta District 8, Semoga tidak jadi cluster baru ya ;)
![]() | ||
Flix Cinema di Astha District 8 |
Kembali ke soal bioskop. Ternyata bukan hanya Timo yang harus bersedih hati melihat belum ada tanda-tanda dibukanya kembali bioskop. Kinosaurus, tempat saya juga bekerja sejak Maret terakhir mengadakan program rutin regular terpaksa harus angkat kaki dari rumah pertamanya sejak 2015 di Aksara Kemang. Meskipun masih ada beberapa kegiatan pemutaran tertutup untuk privat dan juga pemutaran terbatas film Mudik beberapa waktu lalu, terlalu berat untuk bertahan di compound yang juga memiliki tenant seperti bakmi, toko vynil, toko kopi sampai toko buku Aksara yang memang menjadi flagship store. Akhir November lalu jadi momen pindahan Kinosaurus ke rumah baru yang sementara masih belum mengadakan pemutaran luring.
![]() |
New Home for Kinosaurus |
Ketika pengumuman Kinosaurus menutup pintunya di Jalan Kemang Raya 8B, ada beberapa pertanyaan mengacu ke saya, “Sedih gak?”. Sebenarnya tidak perlu waktu lama menjawab pertanyaan itu, jawabannya “Tidak.” Bukan saya tidak sentimentil, tetapi konsep menonton dan berkelompok bagi saya lumayan banyak bergeser dari sekadar sebuah tempat. Kalau soal menonton di mana, memang bioskop tetap memberikan pengalaman menonton yang tak tergantikan. Menonton di layar kecil jadi opsi aman saat ini. Bahkan, saya sebenarnya sempat memikirkan jika mau kembali ke bioskop kapan saya akan berani. Bulan November kemarin film dokumenter BTS tayang di bioskop yang sempat membuat saya kaget juga. Ya, karena setelah naik turun izin dari Pemda DKI soal bukanya bioskop, tetiba saya dapat surel tentang tayangnya film Break The Silence ini. Sempat mengontak bioskop Cinepolis karena bisa menyewa keseluruhan ruangan dengan kapasitas di bawah 30 kursi tetapi niat tersebut saya urungkan. Tanggung jawab yang besar dan biaya yang tidak murah untuk tiket yang dijual tiga kali lipat khusus untuk film ini. Walau telat satu bulan, saya tetap bisa menonton di platform official lengkap dengan commentary dari members.
![]() |
Menengok Tetangga di Malaysia Lewat Festival Film Semester Pendek |
Rindu menonton di bioskop, ya mungkin sedikit. Tetapi saya lebih merindukan ‘ruang’ yang diciptakan di luar menonton itu sendiri. Saat mengadakan program festival film Semester Pendek untuk mahasiswa atau terlibat di Festival Film Dokumenter akhir November lalu, sempat mengobrol panjang lebar dengan kawan yang tersebar di Jogja dan Semarang, lalu juga berkenalan dan diskusi dengan pegiat film Malaysia. Saya juga sempat berdiskusi dengan pegiat film dokumenter Asia Selatan di Dharamsala Film Festival dan Luang Prabang Film Festival. Rindu dan sedih itu yang muncul setelah sesi obrolan itu selesai. Sedih, karena kalau saja ini dilakukan secara luring tentu akan semakin dalam obrolan. Rindu, karena ini yang saya rasa kehilangan dalam pengalaman menonton saya. Bukan sekadar yang ada di layar, tetapi menikmati respon-respon penonton lain. Tentu silverliningsnya, kalau bukan karena COVID-19 bisa jadi diskusi-diskusi ini tidak sempat terjadi.
![]() |
Perdana Terlibat di Festival Film Dokumenter |
Jadi bagaimana nasib eksibitor ke depannya? Ya saya tidak tahu. Tetapi yang perlu saya ingat dari sejumlah obrolan ini, tidak lagi bergantung pada tempat untuk bisa berkembang atau menikmati tontonan. Tempat akan selalu hilang timbul, apalagi di dunia yang serba tidak pasti. Mau bergantung pada lini digital? Bisa saja, tetapi ingat juga pemain besar tetap bisa memonopoli. Memulai dari yang kecil tentu bisa. Intinya, harus siap berinovasi dan tetap kuat mental serta tahan banting. Sudah siap?
No comments:
Post a Comment