Monday, January 30, 2023

What I Learn From: BTS Meals, Tokopedia, Mad Beauty and Everything "In The Name of BTS"..

Teaser kolaborasi BTS x McDonalds


Tulisan ini ditulis dari pengalaman pribadi dari berbagai perspektif setelah kolaborasi McDonalds dan kolaborasi lain yang ada di Indonesia sampai Desember 2021, dan berlanjut di 2022 setelah lama draftnya ditinggalkan. Jika ada kekurangan informasi atau pengalaman yang berbeda, murni dari subjektivitas penulis.

Promo BTS Meals dan Preview Photocard

Sebagai ARMY, alias fans dari grup BTS bulan Juni ini cukup dinantikan dengan segala perhelatan FESTA yang merupakan perayaan ulangtahun BTS ke delapan tanggal 13 Juni tahun 2021. Selain soal FESTA, ada banyak hal lain yang kebetulan waktu rilisnya sama, termasuk kolaborasi restoran chain fast food, McDonald's dan BTS. Bulan Juni akhir dijadwalkan BTS Meal, menu paket yang dipilih oleh member BTS spesial dengan saus Cajun dan Sweet Chili lengkap dibungkus dengan kemasan warna ungu plus logo BTS akan rilis. Entah kenapa, jadwalnya jadi maju ke 9 Juni. Tentunya berita ini jadi kabar baik dan disambut meriah oleh ARMY atau muggles (istilah untuk non-ARMY dari seorang kawan).

Ternyata banyak sekali yang cukup excited dengan kolaborasi ini, walau banyak yang mempertanyakan kenapa gak ada photocard atau merchandise dalam kolaborasi ini. Ternyata merchandisenya dijual terpisah di aplikasi Weverse (aplikasi resmi merchandise dan konten HYBE, agency BTS). Setuju sih, supaya gak rusuh dan ribet di restorannya. Lalu sekitar 3-4 hari sebelum rilis BTS Meals, saya dikabari oleh kawan yang kerabatnya kerja di McD, nanti promo ini hanya ada di pemesanan delivery, ojek online atau drive thru. Intinya gak akan ada untuk dine-in untuk menghindari kerumuman. Saya pun langsung coba-coba download aplikasinya dan mempelajari gimana cara pesannya nanti. Mengingat high demandnya, saya agak memperlakukan seperti war tiket konser atau merchandise. Akhirnya di hari-H, saya mulai siap-siap mencoba memesan lewat McDelivery sejak jam 09.00 untuk diantar sekitar jam 12.00. Sayangnya, dua kali percobaan transaksi gagal di saat proses pembayaran. Baru sekitar jam 10- lewat, saya berhasil order untuk diantar jam 14.00. Saya pun meninggalkan aplikasi dan menunggu pesanan tiba. Ternyata kegaduhan perkara pesan-memesan ini berlanjut dari grup Whatsapp dan juga media sosial. Teman-teman ARMY menunggu sampai jam 11.00 untuk bisa order di aplikasi ojek online, beberapa harus masuk antrean untuk memesan di aplikasi McD. Sampai akhirnya, sekitar 15 menit setelah rilis dari jam 11.00 menunya dinyatakan habis. Kalaupun ada, hanya di beberapa lokasi yang mungkin lebih sepi dibanding lokasi lainnya. Beruntung, pesanan saya hadir 2 jam lebih awal dari jadwal. 












 

Di hari itu, saya merasa kegaduhan yang terlalu riuh. Bahkan sampai esok harinya. Di media sosial begitu banyak komen negatif tentang kolaborasi ini, terutama menargetkan ARMY yang dianggap membuat kekisruhan (dengan menjadi konsumen produk ini) dari membuat antrean, membuat ojol menunggu berjam-jam, sampai beberapa gerai McD terpaksa disegel polisi karena menyebabkan kerumuman.

Berjalannya waktu, ternyata makin banyak kolaborasi terkait BTS atau semesta lainnya seperti Tiny Tan dan BT21 yang dirilis bersama produk di Indonesia. Jujur saja, sebagai orang yang cukup FOMO  (fear of missing out) apalagi perkara BTS, ini sulit dihindari untuk diabaikan. Dimulai dari Tokopedia, memberikan seri photocard setiap pembelajaan dengan waktu dan toko tertentu. Lalu ada Kopi Kenangan yang menjadi reseller  tumbler BUILT yang merilis seri dari desain MV DNA. Setelah itu kaya sprint produk-produk yang sudah rilis di luar Indonesia perlahan masuk ke Indonesia; Downy Tiny Tan, Xylitol dan Paldo Babinski Coffee dengan kemasan terbaru seperti di Korea sampai yang terkini Chatime BT21 setelah sebelumnya sudah rilis di negara asalnya, Taiwan beberapa tahun lalu.

Saya kembali merevisit tulisan ini setelah hampir enam bulan, dan tentu nya kolaborasi lainnya ada saja yang sedang berjalan. Saya coba ingat-ingat kembali pengalaman mengakses, mengonsumsi sampai bahkan sekadar membicarakannya bersama teman-teman yang sama-sama berburu.

Dari semua pengalaman dan akhirnya sedikit bisa saya rangkum seperti ini;

People and Their Agenda

Selama lebih dari enam bulan, hampir 1 tahun setelah BTS Meals dirilis di seluruh dunia dan juga dua lagu rilisan BTS yang baru Butter, Permission to Dance rilis plus kolaborasi My Universe bersama Coldplay dan segala aktivitas Bangtan termasuk 12 seri konser di Amerika, menghadirkan banyak ARMY baru. Tentunya menambah 'saingan' buat mendapatkan berbagai barang-barang tersebut. Sebenarnya apa sih tujuannya ikutan dalam 'kompetisi' barang-barang kolaborasi ini kalau buat publik atau ARMY sendiri? Jujur, saya adalah pengepul merchandise BT21 dan war merchandise jadi penting buat kolektor seperti saya. Di luar BT21 saya masih agak rela ketinggalan. Untuk merchandise official hampir semuanya masih bisa dibeli sampai jangka yang lebih panjang dibanding produk kolab yang kerap diberi label limited edition. 

Kolab BTS dengan McD bisa jadi membuat semua yang mengenal dua brand tersebut ingin mencicipi gimana 'rasa' kolaborasi tersebut, apalagi bisa dibilang produk makanan cepat saji ini cukup terjangkau harganya dibanding produk lain yang berlabel official. FYI, merchandise official keluaran HYBE Agenda ARMY; untuk merayakan, menjadi bagian dari campaign BTS dan juga merasakan produk yang dekat di wilayahnya. Ingat, merchandise official tidak di jual di toko lokal ya! Agenda orang-orang di luar sana; Lebih kurang sama, ingin menyicipi dan ikut dalam keriaan tersebut. Bagaimana bentuk keriaannya? Mulai dari jadi bagian dari komunitas ARMY, menjadi yang 'pertama' dan terdepan ketika ini juga produk yang sulit didapatkan, sampai mereka yang cari cuan dengan menjadi pemborong dan menjual kembali. Keriaan tersebut mungkin akhirnya yang membuat publik umum mendapat sorotan atau clout  yang menaikan tren dalam media sosial (atau juga dalam kehidupan sehari-hari?). Mereka yang beruntung bisa mencicipi karena McD di kotanya begitu banyak, mereka yang lebih beruntung dari ARMY karen karena bukan ARMY tapi bisa lebih dulu merasakan Bangtan dalam saus cocolan, mereka yang punya akses ke pihak tertentu dan borong berbox-box untuk kemudian dijual lagi dengan harga tambahan sampai 2x lipat, mereka yang mencicipi dengan santai tanpa antre atau tanpa usaha lebih dan berkomentar "ternyata rasanya gini doang?" dan mendapat banyak tombol 'like' di media sosial, mereka pemilik bisnis yang brand-nya tidak termasuk dalam kategori baik makanan cepat saji ataupun produk Korea tetapi membubuhkan inisial B-T-S dalam abreviasi menu dan warna ungu sebagai bagian dari keriaan.

Keriaan-keriaan tersebut mungkin tak disadari menjadi agenda tersendiri untuk sebagian orang. Publik, ARMY atau bukan, penyuka Kpop atau bukan, anak indie senja atau orang yang bahkan tidak mengonsumsi daging pun mungkin terlibat dalam keriaan sembari menyisipkan agenda-agenda yang tak disadari berpartisipasi dalam ramainya perbincangan dua brand ternama dunia ini.

People and Their Happiness 

Bisa dibilang kolab Tokopedia BTS menduduki peringkat nomer satu buat saya dari hampir setahun menyaksikan berbagai kolaborasi brand-brand lokal yang ingin mengangkat derajat di perbincangan medsos maupun secara revenue. Bukan hanya dapat photocard random yang dibuat seri selama dua putaran untuk pembeli yang menggunakan voucher khusus. Walaupun di seri pertama dibuat cukup deg-degan dan random, bisa dapat bisa juga tidak, di putaran berikutnya Tokped mulai punya strategi yang lebih adil bagi pembeli. Tentunya, ini tidak membuatnya lebih mudah HAHAHHAHAHA. War voucher juga habis dalam hitungan detik dan pembelinya belum tentu ARMY. Tentu saja ada saja oknum yang menjual kembali photocard tersebut dengan harga yang kadang tidak masuk akal. Di sisi lain, Tokped tidak lupa bahwa penggemar BTS ini menyukai mereka karena musiknya (ehm, bener kan?). Jadilah dalam satu tahun konten-konten performance mereka ditampilkan bersama dengan interview dan juga games yang mengingatkan pada RUN BTS. Belum lagi konten promo Tokped juga kerap menyelipkan konten member sambil sedikit berbahasa Indonesia. Bukan pengguna Tokped? Bisa juga gak sengaja 'ketemu di jalan' karena poster, iklan dan placement Tokped ada di mana-mana. Bahkan satu hari, saya begitu bahagia ketika kereta MRT yang saya naiki dibranding full BTS! Senang gak sih 'dikepung' di mana-mana? Ya senang! Abis itu pindah gak belanja di toko 'ijo' dari toko 'oren'? Sayangnya gak, tapi sesekali saya jadi mulai menyimak promo-promo di toko 'ijo' ini. 

Satu lagi pengalaman dari semesta BTS dan kolaborasinya, BT21 dan Chatime. Produk minuman asal Taiwan ini punya gerai yang sangat banyak di Indonesia Saya juga konsumen tetap, bahkan dibanding McD atau Tokped, saya rasanya lebih sering jajan Chatime. Kolaborasinya adalah beberapa jenis minuman khusus berwarna ungu, warna nasional ARMY dan BTS dengan kemasan desain khusus plus seri magnet BT21 sebanyak delapan karakter dan tumbler BT21. H-1 memantau gerai Chatime sekitar saya dan berhasil mengamankan porsi perdana via ojek online dan magnetnya. Belum berhasil mendapatkan tumbler karena ternyata di area saya belum dirilis, tetapi tidak lama tumbler tersebut bisa didapat hampir di semua gerai Chatime terdekat saya di Jakarta. Hal menarik selama masa kolab Chatime x BT21 ini adalah berburu magnet seperti mengoleksi photocard yang tentunya random. Total pencarian saya untuk delapan karakter cukup berhasil saling bertukar dengan sesama ARMY. Bahkan, untuk pertama kalinya saya sukses trading via Twitter untuk dua karakter yang cukup langka. Pengalaman 'WTT' alias Want to Trade yang menarik dan menyenangkan buat saya.

People and Their Verdict

Kalau ditanya balik, apakah semua produk kolab ini worth to try? Ya tentu jawabannya prioritas dalam berinvestasi (fangirling) berbeda-beda buat tiap orang. Saya sempat coba kopi Paldo Babinski yang sudah lama sekali kolab dengan BTS. Waktu itu edisinya Map of The Soul buat saya kopinya gak sukses, manis dan flat tanpa ada rasa kopi. Tentu saya simpan botolnya untuk koleksi. Akhir 2021, mereka rilis versi BE. Saya sempat ragu, beli gak ya? Apalagi dulu saya beli di jastip Korea yang lumayan mahal. Ternyata versi BE ini dirilis online di website Indomaret dengan tiga varian random. Tentu saya beli tanpa ragu. Oh tentu dengan war ya! Secara random saya sukses lengkapi semua member tanpa harus trading atau beli berdus-dus. Lucunya, rasa kopinya berbeda dari edisi sebelumnya. Ah, saya pikir mungkin edisi sebelumnya memang sudah mau expired ya? Saya mau beli lagi kopinya jika ada versi baru.


Lalu ada Xylitol, permen karet keluaran Lotte yang memiliki botol versi BTS per member maupun OT7. Sebelumnya saya sudah pre-order untuk seri Jepang ternyata keluar versi Indonesia yang bisa dibeli di Alfa atau Indomaret, bahkan di appsnya tersedia hanya 7000an saja! Jadi lebih gampang dong ada di mana-mana? Tentu tydack! Dari tiga varian, saya harus ekstra keliling buat dapatkan seri warna ungu. Produk teranyar dan cukup unik adalah kolab BT21 dengan make up lokal, Mad for Beauty. Tentu sebagai pengepul BT21 saya tergelitik ketika produk lokal mengumumkan bisa kolab dengan IP sebesar BT21. Produknya juga gak main-main produksi dan packagingnya, belum lagi nama produknya sedikit ditweak dari lagu-lagu BTS, seperti 21st Century Lip atau No More Wine. Selain produknya cocok, packaging menarik, tentunya servis pada pembeli juga jadi catatan penting ketika akhirnya mengonsumsi produk-produk kolab ini. Meskipun berlabel 'limited edition' bukan berarti setelah program kolab selesai, pembeli tidak melirik produk lain bukan? 


                                                                       Punya kesempatan kolab dengan mega-bintang bukan berarti tanpa effort. Kalau berharap hanya ikon yang akan menaikan popularitas dan cuan, sepertinya pekerjaan rumah brand tersebut masih panjang. Catatan lain ketika Kopi Kenangan mengadopsi produk tumbler BUILT x BTS yang dijual digerai kopinya. Sebagai salah satu unicorn, KopKen punya brand yang dikenal sebagai 'es kopi lokal' yang cukup merakyat dan ramah di kantong. Ketika mereka mengumumkan akan kolab dengan keyword BTS, tentu warga langsung bergembira. Bagaimana tidak? Brand ramah di kantong bisa menggandeng musisi seperti BTS dan ekspekatsinya akan menjadi sangat terjangkau. Menariknya, saya kebetulan sudah mengincar tumbler BUILT tersebut. Sebagai pengepul gelas, tumbler dan peranti makanan lainnya, saya mencoba ikut pre-order produk yang awalnya eksklusif di Jepang. Harganya memang cukup luar biasa karena mengambil IP video klip Idol belum lagi BUILT dikenal sebagai brand desain apik dari Amerika. Bisa dibayangkan berapa biaya operasional import plus segala value dalam gelas kopi tersebut kan? 

Ketika sudah terjual habis dan KopKen mengumumkan akan kolab, saya pun bertanya-tanya berapa harga yang akan dijual? Apakah ada margin ketika mereka 'kolab'? Untuk kelas KopKen yang tentunya sebuah perusahaan berorientasi profit, BEP saja tentu tidak cukup. Saya akhirnya tertawa ketika hari rilis tumbler tiba. Mereka membanderol di angka 600-700rb untuk satu buah tumbler. Ada iming-iming diskon paylater dsb dsb tapi tentunya gak membuat harganya menjadi turun drastis. Setelah ditelusuri, ternyata KopKen sebenarnya hanya menjadi reseller dari produk ini dan bahkan sampai beberapa bulan lalu, saya masih lihat promonya dijual diskon di aplikasi online. Tidak heran, beberapa hari setelah rilis banyak cuitan yang bertanya-tanya tentang promo KopKen yang seperti menggunakan akun bot di Twitter untuk mempromosikan produk ini. Lagi-lagi, PR brand ini masih banyak ya! 

Sebenarnya saya ingin menambahkan pengalaman terkini soal produk lokal dan kemampuannya membawa BTS ke publik Indonesia, Live Viewing Konser Permission to Dance di Seoul oleh CGV dan CBI Pictures. Tapi, coba disimpan untuk tulisan mendatang ya! Semoga saya gak mager..



Tuesday, June 15, 2021

What I Learn From: The Bold Type

 Setelah cukup lama gak nulis apa-apa selain caption Instagram atau Tweet, marilah kembali menulis dari hal-hal sederhana yang saya saksikan (atau alami) beberapa waktu belakangan.

The Bold Type' Season 5: News, Release Date, and Spoilers - Info on the  Last Season of 'The Bold Type'

 

Nonton serial gak lagi jadi pilihan saya. Terakhir menyelesaikan Reply 1988 di libur akhir tahun 2020 lalu dan rasanya gak mau move-on dari persahabatan geng gang Ssang-mun dong ini. Bahkan ketika saya coba menonton reality series, Youth Over Flower, di mana empat orang dari cast Reply 1988 bertualang ke Afrika dengan impromptu, ternyata gak membuat saya betah nonton sampai serial tersebut selesai. Jadilah yang namanya nonton serial makin terasa sulit cocok dan selesai sampai akhir. Sampai sekitar akhir Mei random nemu series The Bold Type di Netflix. Kirain serial baru, ternyata sudah empat season. Haha.

Serialnya tentang persahabatan tiga orang yang kerja di majalah Scarlet di New York, Kat, Jane dan Sutton. Mereka punya posisi beda-beda di kantor tersebut tapi selalu bisa curhat dan menggunakan secret code; fashion closet kalo ada hal penting yang harus mereka obrolin. Ketiga perempuan ini usianya lagi matang-matangnya, karier lagi menukik tetapi juga dalam tahap eksplorasi dalam hubungan percintaan dan seksual. Seperti judulnya, masalah-masalah mereka bisa dibilang jadi pemantik karakter individunya dan respon terhadap situasi terkini. 

The Bold Type” Season 4 Is Coming to Freeform | Teen Vogue

Sayangnya, masuk musim ketiga akhir dan keempat rasanya saya makin gak simpatik dengan karakter dan cara-cara penyelesaian masalahnya. Tapi berhubung tulisan ini bukan soal reviu cerita atau serial, saya akan langsung bahas apa yang sebenarnya menarik untuk dipelajari dari serial ini. 

KAT dan previllegenya.

The Bold Type' Star Meghann Fahy Reveals the Secret Backstory of Sutton's  'Unique' Wedding Dress! (Exclusive) | Entertainment Tonight 

Kat merasa dia half black-half white. Kalo inget serial This Is Us saya jadi ingat karakter Randall Pearson, anak adopsi dari orangtua kandung African American dan dibesarkan di keluarga putih. Ia disebut oreo karena black outside-white inside, alias punya attitude dan pola pikir yang 'putih' sebagai orang dari kulit berwarna (POC). Kat besar dengan orangtua yang liberal, memberikan banyak kebebasan plus punya karier yang cukup cepat menanjak di usia yang belum 30 tahun dan menjabat sebagai director of social media. Sebagai queer ia juga merasa mudah untuk came out dan tak ada banyak hambatan di pekerjaan atau lini lain. Banyak sekali contoh-contoh Kat dalam kehidupan sehari-hari. Dulu saat kerja di media, posisi manajer sebuah posisi penting yang jika anak-anak baru mendudukinya seolah-olah sudah jadi orang paling hebat sedunia. Nyatanya? Tidak! Posisi itu bisa dibuat oleh perusahaan jika memang bisa, gaji pun tinggal diatur plus beberapa anak buah sebagai apprentice.  Kenapa harus belajar dari Kat? 

Kat sempat tergelincir beberapa kali ketika harus menyuarakan opini apalagi dia platform yang besar. Hal baik sempat dia ambil, termasuk ketika ia membela anak buahnya yang secara status pendidikan gak masuk syarat untuk kerja di Scarlet. She took the leap! Sayangnya, Kat juga tergelincir saat ia mencoba membocorkan data keuangan dan pajak big-bossnya di Safford (Holdingnya Scarlet) lewat cuitannya. Tentunya kebocoran data bukan sekadar pencemaran nama baik, atau UU ITE kalo di Indonesia :p tetapi cara ia mendapatkannya juga ilegal. Jadilah dia dipecat dari Scarlet. Lebih-lebih, ternyata selama ini apartemennya merupakan punya orangtuanya dan dia sempat beberapa bulan tanpa pekerjaan (atau simpanan dana darurat) jadilah ia menumpang tinggal bareng Jane. Ternyata previllege Kat akhirnya akan ada batasnya juga.

JANE dan BRACnya 

The Bold Type Review: The Breast Issue (Season 1 Episode 6) | Tell-Tale TV

Jane punya riwayat kanker payudara dari ibunya. Ia juga akhirnya memutuskan untuk melakukan double maesectomy di umurnya yang belum 30 tahun. Di waktu yang sama, ia terpilih jadi salah satu kandidat 30 Under 30s Forbes karena dianggap tulisannya berani dan berhasil mengangkat isu-isu penting saat ini. Sayangnya, Jane gak merasa penting ada dalam daftar itu. Ibunya meninggal di usia 31 tahun, dan bagi Jane justru ia pengen bisa tetap bisa melakukan sesuatu di usia 30 ke atas tanpa embel-embel pentingnya ada di daftar 30 under 30s ini. Mengingat banyaknya milenial muda merasa penting ada di daftar-daftar ini, memang harusnya jadi refleksi soal 'apa yang dilakukan' daripada angka-angka yang jadi embel-embel semata. Keputusan akhirnya mengangkat payudara bagi perempuan di bawah 30 tahun juga jadi isu penting. Selepas operasi, Jane juga merasa bukan dirinya dan harus mengenal dirinya lagi untuk 'jadi dirinya'. Seberapa banyak dari kita yang benar-benar mengenal diri sendiri di luar persona yang ditampilkan? This is a lot, Jane! 

The Bold Type' Tackles BRCA DNA Testing On Tonight's Ep - Sneak Peek Here!:  Photo 1103599 | Katie Stevens, Television, The Bold Type Pictures | Just  Jared Jr.

SUTTON dan percintaannya

The bombshell of the group, dia seperti hidup dalam fairytale. Awalnya jadi asisten, naik jadi asisten stylist dan akhirnya jadi stylist di Scarlet. Begitu juga percintaannya, awalnya hanya hook up dengan Richard salah satu board  Safford yang usianya nyaris 15 tahun lebih tua dan kemudian jadi hubungan serius. Rasanya memang too good to be true melihat hubungan Sutton dan Richard, belum lagi gap ekonomi terlihat jelas dan Sutton merasa canggung awalnya menikmati semua fasilitas dari Richard. Ia tetap mau membayar makanannya sendiri saat kencan, bahkan mencuci sendiri bajunya ketika Richard sebenarnya punya helper yang melakukan semua urusan rumah tangganya. Sutton sempat juga menyebut, gaji sebulannya adalah gaji seminggu Richard. Ia ingin menancapkan taringnya juga bahwa mereka setara dalam hubungan tersebut. 

The Bold Type' stars tease final season, more Richard and Sutton drama | GMA

Ketika sampai akhirnya hubungan mereka benar-benar serius dan Sutton keguguran pasca empat bulan pernikahan, Ia menyadari kalau sebenarnya ia tidak pernah menginginkan anak dan menjadi ibu. Trauma dengan sang ibu yang pemabuk dan jauh dari sosok ideal orangtua membuat Sutton seperti takut akan menjadi ibu yang sama dengan Barbs, ibunya. Sayangnya, omongan penting perihal anak dan rencana-rencana masa depan sepertinya tidak ada dalam obrolan Sutton dan Richard. Bagaimana perempuan yang ada di puncak karier dan laki-laki yang sudah mapan luput membicarakan topik yang rasanya jadi sensitif seperti anak dan karier. Kalau Sutton mengalah tentu gak mungkin, judul serial ini bisa berubah menjadi Housewives on Westside lol. Namun apakah harus Richard selalu ngalah dan gak bisa meraih mimpinya mengerjakan hal-hal yang dia suka? (Yes, ternyata kerja dengan gaji USD 50,000 per tahun gak membuatnya bahagia). Lesson learned, Sutton!

 12 'The Bold Type' Moments That Were So Empowering, From The Subway Scream  To Jane's Career Move

Verdict dari serial ini, sebenarnya gak membuat saya ingin lanjut ke musim berikutnya, tetapi sepanjang empat musim ini cukup seru melihat isu-isu yang sangat kontekstual terutama di era woke ini diangkat dan pemecahannya bisa sangat detail. Hal-hal yang dianggap remeh di serial lain sepuluh tahun lalu, jadi terasa detail dan penting. Apalagi era #metoo dan Black Lives Matters yang makin relevan dengan konteks pekerjaan atau bahkan kehidupan sosial sehari-hari. Salah satunya, Sex And The City terasa sangat dangkal dan How I Met Your Mother ternyata sangat misoginis.

 

 

Wednesday, March 24, 2021

There is No Void, To Let Them In

Ini mungkin jadi satu dari ratusan hari yang gak pernah kejadian setelah bertahun-tahun. Bangun dari tidur, buka laptop dan maksa buat nulis (yang mungkin gak langsung dipublish juga.)

      Credit: Twitter User


Abis yin yoga, kepala agak sedikit migren dan mual, minum panadol merah. Kiranya akan lebih baik ditemani lagu instrumental untuk pengantar tidur. Masuklah ke playlist BTS seperti biasa, versi instrumental. Ntah kenapa mau denger lagu Spring Day, salah satu lagu yang bikin saya jadi ARMY tapi juga efek lihat video Bangtan nyanyi gantian di You Quiz yang baru rilis malam tadi dan sukses bikin Army sedunia, baik yang paham bahasa Korea, baca terjemahan atau yang sama sekali gak paham tapi tetap bisa menikmati. Kalau lagu ini sukses bikin perih karena perihal Sewol Ferry Incident tahun 2014, saya jadi ingat juga soal lagu Agust D yang konon memasukan unsur kerinduan akan sahabantnya di lagu ini juga. Saya tetiba jadi berpikir soal kawan-kawan saya yang saya rindukan, ada di mana mereka sekarang?

Surprisingly, mereka semua ada di dekat saya. Selama pandemi mereka tetap berkontak, pendek, singkat atau kadang lama dan sering. Bersyukur sekali. Mereka yang memang tidak lagi jadi kawan memang akhirnya menghilang begitu saja. Bahkan orang-orang terkasih yang saya kira akan muncul dalam pikiran saya di tengah malam di tengah kesendirian ternyata tak pernah sedetik pun muncul. Saya kira ada void di perasaan saya yang perlu diisi. Salah satunya oleh Bangtan dan semestanya. Void yang kiranya tak terisi oleh kerabat atau pasangan, impian atau hasrat. Void yang kiranya menggantikan porsi perasaan-perasaan itu, diisi oleh lagu-lagu yang membuat saya berani mengungkapkan perasaan-perasasan saya, termasuk tulisan ini yang penuh ketidaknyamanan. Tidak menunjukan kebanggaan atau kesenangan yang selalu membuncah. 

Lebih dari itu, ternyata tidak ada void yang diisi oleh Bangtan. 

Lewat tulisan dan lagu yang perlu terjemahan mereka hadir di ruang khusus, bukan untuk mengisi kekosongan. Ruangnya ada, awalnya sedikit tetiba meluas. Masuk ke pikiran saya, untuk menggali lagi lebih dalam pikiran sadar atau tanpa sadar saya. Iya, mereka menguatkan. Iya, mereka memberi suara baru. Iya, mereka berbagi kesulitan. Lebih dari itu, rasanya mereka bisa mensejajarkan diri saya dan mereka yang sama-sama manusia. Tanpa jadi pengalihan atau penyeka luka yang sementara. 

This is odd. 

This is beautiful.

This is so far, yet so close.

   Credit: From ON photoshoot



This is so real, indeed yet, surreal.


Jakarta, 25 Maret 2021, 01.22 AM

Sudah setahun lebih di rumah. 

Di atas kasur, impulsif, tanpa lampu dinyalakan.
Lagu House of Cards instrumental.



Monday, December 28, 2020

Menonton Dengan atau Tanpa Bioskop, Sudah Siap?

 

Terakhir ke bioskop di tahun 2020 mungkin…Februari? Atau.. Maret? Hmm. Bisa jadi saya tidak ingat lagi. Namun saya ingat, 10 Maret 2020 saya mengadakan acara tahunan Kolektif, Film Musik Makan di Goethe Haus. Selama seminggu sebelum acara, saya sudah khawatir acara akan dibatalkan karena COVID-19 sudah merebak di Indonesia sejak awal Maret. Sebagai orang yang terlalu khawatir dengan risk management, ada dua kemungkinan kalau ternyata acara dibatalkan, tanggung jawab dengan filmmaker untuk kemudian hari harus mengadakan kegiatan pengganti. Belum lagi beberapa vendor yang sudah dibayarkan. Tentu saja saya harus membuat plan B supaya waktu, tenaga dan uang tidak sia-sia hangus begitu saja. 

Film Musik Makan 2020, Lolos dari Cancellation di Goethe


Kemungkinan berikutnya, soal risiko para penonton. Nggak mungkin mengandalkan mereka bisa menjaga diri sendiri 100%, jadilah harus ada usaha penyelenggara menyiapkan ini itu dan juga mengingatkan jauh-jauh hari. Long story short, acara Film Musik Makan 2020 jadi acara luring terakhir saya, sampai blog ini ditulis saya belum pernah mengadakan dan menghadiri kegiatan menonton film luring lagi.

Terakhir Ke bioskop pas event Parasite Black and White, Bahkan setelah itu filmnya tidak sempat tayang


Perasaan yang lain mungkin dirasakan oleh kawan saya, Timo Prassanto
seorang programmer bioskop yang sudah bekerja di bioskop bertahun-tahun. Tentu saja 9 bulan ini menghantam keras industri bioskop dan hospitality. Sejak Maret bioskop sudah ditutup, ada sebagian usaha yang mereka lakukan. Timo sempat berbagi di Instagram Live-nya beberapa bulan lalu. Mulai dari berjualan menu-menu makanan yang ada di kafenya di sejumlah e-commerce sampai juga menerima pembelian tiket in advance (yang belum tahu kapan bisa digunakan). Penjelasan Timo, bioskop bukan hanya bertahan dari mengandalkan orang menonton di ruang pertunjukannya tetapi juga keseluruhan ekosistem, termasuk penjualan makanan. Pantas saja kan harga makanan di konter bioskop bisa 2 kali lipat dibanding beli di luar dan betapa strictnya pengecekanan makanan sebelum masuk bioskop. Keberlangsungan bioskop juga tidak dengan mudah berpindah menjadi platform digital karena ada izin film yang diputar di bioskop (theatrical release) berbeda dengan izin putar di streaming online (over the top atau video on demand). Skema ini yang juga akhirnya membuat persaingan bioskop dengan platform online seolah-olah ada. Ya, memang ada tetapi tidak semudah itu Fernando! 

Di tengah segala kepusingan bertahan, ternyata Timo dan timnya justru bisa membuka satu cabang baru bioskopnya di Ashta District 8, yang kini jadi salah satu spot populer di Jakarta Selatan. Sayangnya Timo tidak bisa berlama-lama menikmati anak barunya ini tumbuh kembang. Ia ikut berkembang, pindah ke jalur digital. Untuk spot baru di Ashta District 8, Semoga tidak jadi cluster baru ya ;)

Flix Cinema di Astha District 8

 

Kembali ke soal bioskop. Ternyata bukan hanya Timo yang harus bersedih hati melihat belum ada tanda-tanda dibukanya kembali bioskop. Kinosaurus, tempat saya juga bekerja sejak Maret terakhir mengadakan program rutin regular terpaksa harus angkat kaki dari rumah pertamanya sejak 2015 di Aksara Kemang. Meskipun masih ada beberapa kegiatan pemutaran tertutup untuk privat dan juga pemutaran terbatas film Mudik beberapa waktu lalu, terlalu berat untuk bertahan di compound yang juga memiliki tenant seperti bakmi, toko vynil, toko kopi sampai toko buku Aksara yang memang menjadi flagship store. Akhir November lalu jadi momen pindahan Kinosaurus ke rumah baru yang sementara masih belum mengadakan pemutaran luring. 

New Home for Kinosaurus

 

Ketika pengumuman Kinosaurus menutup pintunya di Jalan Kemang Raya 8B, ada beberapa pertanyaan mengacu ke saya, “Sedih gak?”. Sebenarnya tidak perlu waktu lama menjawab pertanyaan itu, jawabannya “Tidak.” Bukan saya tidak sentimentil, tetapi konsep menonton dan berkelompok bagi saya lumayan banyak bergeser dari sekadar sebuah tempat. Kalau soal menonton di mana, memang bioskop tetap memberikan pengalaman menonton yang tak tergantikan. Menonton di layar kecil jadi opsi aman saat ini. Bahkan, saya sebenarnya sempat memikirkan jika mau kembali ke bioskop kapan saya akan berani. Bulan November kemarin film dokumenter BTS tayang di bioskop yang sempat membuat saya kaget juga. Ya, karena setelah naik turun izin dari Pemda DKI soal bukanya bioskop, tetiba saya dapat surel tentang tayangnya film Break The Silence ini. Sempat mengontak bioskop Cinepolis karena bisa menyewa keseluruhan ruangan dengan kapasitas di bawah 30 kursi tetapi niat tersebut saya urungkan. Tanggung jawab yang besar dan biaya yang tidak murah untuk tiket yang dijual tiga kali lipat khusus untuk film ini. Walau telat satu bulan, saya tetap bisa menonton di platform official lengkap dengan commentary dari members. 

Menengok Tetangga di Malaysia Lewat Festival Film Semester Pendek

 

Rindu menonton di bioskop, ya mungkin sedikit. Tetapi saya lebih merindukan ‘ruang’ yang diciptakan di luar menonton itu sendiri. Saat mengadakan program festival film Semester Pendek untuk mahasiswa atau terlibat di Festival Film Dokumenter akhir November lalu, sempat mengobrol panjang lebar dengan kawan yang tersebar di Jogja dan Semarang, lalu juga berkenalan dan diskusi dengan pegiat film Malaysia. Saya juga sempat berdiskusi dengan pegiat film dokumenter Asia Selatan di Dharamsala Film Festival dan Luang Prabang Film Festival. Rindu dan sedih itu yang muncul setelah sesi obrolan itu selesai. Sedih, karena kalau saja ini dilakukan secara luring tentu akan semakin dalam obrolan. Rindu, karena ini yang saya rasa kehilangan dalam pengalaman menonton saya. Bukan sekadar yang ada di layar, tetapi menikmati respon-respon penonton lain. Tentu silverliningsnya, kalau bukan karena COVID-19 bisa jadi diskusi-diskusi ini tidak sempat terjadi. 


Perdana Terlibat di Festival Film Dokumenter

 

Jadi bagaimana nasib eksibitor ke depannya? Ya saya tidak tahu. Tetapi yang perlu saya ingat dari sejumlah obrolan ini, tidak lagi bergantung pada tempat untuk bisa berkembang atau menikmati tontonan. Tempat akan selalu hilang timbul, apalagi di dunia yang serba tidak pasti. Mau bergantung pada lini digital? Bisa saja, tetapi ingat juga pemain besar tetap bisa memonopoli. Memulai dari yang kecil tentu bisa. Intinya, harus siap berinovasi dan tetap kuat mental serta tahan banting. Sudah siap?

 

Wednesday, August 19, 2020

People in Pandemic: Tanawat Asawaitthipond, Digesting Art Through Online, No More.



For almost 5 years, i've been making effort to pursue higher education through master program and any scholarship available. Not really my strenght or my luck, it's either my IELTS score missing 0.5 points or I got myself accepted in desirable university but without scholarship. Until around 2018 i realized, working in cultural and art sector for almost 9 years, I've been through quite a lot and need to level up my game. While my game not necesarily in university as student again, I might change my strategy to focusing on my network and work in particular area. I believe this way will help me better to pursue career in particular project and targeting right people towork with. Long story short, I apply for SEAD Fellowship and accepted in 2019. This program is rather a bit complicated to explain, even to understand myself until I experienced it.

So these are the steps for a year: Exchange, Create, Share and Reflect. As an individual, we represent ourselves from each country in Southeast Asia, Taiwan and ,UK as this program co-created by British Council and Mekong Cultural Hub. Each of us coming from different background related to art, culture and work with sustainable development goals. The longtern goals are to have collaboration in between fields and countries, yet explore communication through process within those four steps. And there goes, I met 9 amazing people who has similar interest with me but coming from different background.

As much I fancy another seven fellows, for now I'd like to share one profile of fellow from Thailand, Tanawat or I call him M, as the alphabet after L and before N. I met him during Exchange in Phnom Pehn, Cambodia last November. We spent almost a week for introductory session of the fellowship and whole lot more about what we do back home. What I learnt about him during our time in sunny Phnom Pehn, he works as manager for stage art performance based in Thailand, Artpedia. He works closely with artist across the country. What I also remember was his work with lights when he created one of his performances. I kind of get the idea of his signature style on how producers portray in body of works. Furthermore, stage performance works a bit different with film which I work with on regular basis. Technicalities on stage might stay the same but those styles can embodied the journey of the artists themselves. Until our last day together before I embark from Cambodia, he told me about his upcoming activities with Japan Foundation in Yokohama and another one in Chiangmai. I was looking forward to hear more on the next stage we will meet, Share in Bandung, Indonesia. That was supposed after he's  done with his Create part of this fellowship to Vietnam while me and team went to Myanmar. I can't wait to hear complete experience about all of that.

But then, Covid-19 just arrived right after I finished Create part in  Myanmar and unfortunately M's team failed to complete their trip and project in Vietnam. I was curiousabout he's other project and also his condition. From what I saw from his Facebook after came back from Japan, he has to do several health test, not sure whether it's related to Covid-19 or not. Then I talked again to him, after we did Share part online, since we cannot fly and meet each other.  A bit explanation about Artpedia, as 10 Fellows of SEAD consist of artist and manager- as in the one who manage either artwork or any project related to culture or SDGS, I found myself similar with M. His work with Artpedia covers relationship between performing artists and exhibitions. People like M has responsibilities to initiate the program or project, curate artists and artistic approach they want to exhibit, also to engage more into other stakeholders like fund raising or grants. The work between management and creative side need to balance, yet to take into more neutral position so both side can feel satisfied. From what M share and I read, Artpedia tries to facilitate both needs of artist and prospectives collaborator on performing arts. Since live and work in Southeast Asia country, especially like in Thailand where art is  already rich within the local culture but yet another forms of modern arts still struggling to penetrate mass audience. Not a secret how open Thailand for any kind of art; music, films, or performing arts, even for LGBTQ content where is not easy to express in my country. But yet, not a secret as well how censorship become boundaries for artist to express their freedom of speech. When I asked, have you ever experience this kind of situation during preparing performance? "We had. There was one time, someone talk over to authority about show I saw and suddenly they came to inspect. Some shows are censored or team were threatened by Military government if it may include political criticism in the show. It happened both in text based and movement-based" M explained.

Before all this global pandemic strikes, M joined the program Living a collaboration of four artists from Thailand, Japan, Malaysia and Korea held in Chiangmai where Artpedia took role as producer. This is one of collaborative project where collaborators evolve a performance from living being in earth. Not so far from that, M traveled to Japan to accomplished Performing Arts Meeting or TPAM 2020 invited by the Japan foundation in Yokohama. Over 40 artists from Asia Pacific region gather to celebrate arts and seek opportunity through this meeting. For M himself, experience like this not only accomodate his needs to travel - to enrich vision on how he's project his works through space but also through people. "During this difficult time, everything is online. Eventhough some of is actually proved that art can be consumed in any forms, I found out it's hard. It's lacking of human interaction, face to face communication. And that's one is missing in the past four months" He mentioned, during our conversation, online back in July. He also explained, some of projects he might loses because either its cancelled or postponed. "Some of our project postponed it to unknown time in the future. I gotta say, if they say to do it rather online, I might want to re-think about it" He laughed. It's not that I disagree, but I have the same feeling with him about this. Not everything can have experience through online even though it helps to connect with no limitation. Another thing I asked M about his income beside producing stage performance; because again one of the objective of this interview is to see on how people make effort to keep themselves alive, sane and earn living through this unforeseen circumstances.

I just knew that M owned a business focusing on education. "It keeps me to earn money during this time" He explained. Another hustle that any striving artist needs to balance is to have side hustle, where fortunately might bring more to keep them more than enough to put food on table. I can sense M and his troops can bounce back faster than me here in Indonesia. "Restaurant and malls are starting to open in Bangkok and no more curfew. I actually enjoy night time driving in an empty street. It's relieving!"M said happily. So what next? "Preparing more into my personal project. It's about sustainble method and approach project to support performing art in long term and initiate culture of people acknowledgement"


Tanawat Asawaitthipond is an emerging stage performance producer born in 1988 and live in Bangkok. Graduated from Thammasat University (International Economics, Thailand) and Yonsei University (Economics major & Korean language and culture as minor, South Korea). 

He's a fellow in SEAD 2 and member of Artpedia,Thailand.

Picture credits: Tanawat Asawaitthipond personal properties & Jennifer Lee (Mekong Cultural Hub)

#SEAD2 #artsforchange #sgds



What I Learn From: BTS Meals, Tokopedia, Mad Beauty and Everything "In The Name of BTS"..

Teaser kolaborasi BTS x McDonalds Tulisan ini ditulis dari pengalaman pribadi dari berbagai perspektif setelah kolaborasi McDonalds dan kola...