Kali ini saya ngobrol sama kawan jauh dan memintanya bercerita untuk tulisan kali ini. Sebenarnya lebih tepat menyebut mbak Rini, sebagai senior dibandingkan kawan. Awalnya saya tahu namaya sebagai satu-satunya penulis perempuan di Rumah Film, situs kritik film yang lumayan jadi acuan saya ketika membaca film dan belajar menulis review film. Kami sempat rutin berkirim surel ketika Rini bersama beberapa rekannya membuat majalah bilingual yang membahas film Indonesia dan internasional bernama Fovea tahun 2012. Saya coba membantu menulis di beberapa edisi majalah tersebut meskipun tidak berlangsung lama. Berhubung beliau berdomisili di Brussel, kami tidak pernah bertemu sampai sekitar tahun 2013/2014 saat ia berkunjung ke Jakarta.

Namun diskusi panjang dan obrolan kami yang cukup intens terjadi ketika saya mampir ke kota tempat tinggalnya di pertengahan tahun 2016 lalu. Banyak hal-hal seputar film yang ia bagi dengan saya selama hampir seminggu saya di Belgia, dan lebih banyak juga hal di luar film yang sempat kami bahas. Di tengah pandemi, sempat 'reuni' digital dengan Rini ketika ia dan rekanan Rumah Film reuni membahas buku tilas kritik film yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Saya rasa ini juga saat yang tepat kembali menyapanya meskipun terpisah jauh di benua Eropa sana.
"Na, caranya bikin podcast gimana ya?" Ini merupakan kalimat pertama yang ia tanyakan setelah menjawab apa kabar dari saya. Agak terkejut ketika ia menunjukan ketertarikannya akan bursa dunia siniar. Ternyata salah satu kawannya berniat membuat siniar seputar dunia seni. Ia pun berniat mengenalkan kami berdua supaya bisa berkolaborasi, mengingat saya juga berusaha rutin membuat episode siniar Cinema Paradisco di jaringan Podluck Podcast. Ketika bercerita seputar bagaimana suasana di Brussel selama masa karantina dan bagaimana ia menghadapi situasi tak tentu ini, ternyata ada banyak situasi yang harus dihadapi sebagai penulis dan juga seorang ibu. "Anak gue libur dan sekolah di rumah, tapi kayanya susah banget punya me-time sebagai ibu. Liv - anak perempuannya, masih butuh gue meskipun cuma buat siapin makan atau dengerin musik." Bagi Rini ada waktu-waktu yang membuat konsentrasi melakukan satu hal harus terbagi-bagi meskipun seolah-olah masa karantina adalah masa yang banyak waktu. Kami coba menelusuri tontonan apa yang jadi ketertarikan dimulai atau ditonton ulang. "Gue belom mulai sih nonton drama Korea" ucap saya. Ternyata Rini menanggapi hal yang sama dengan saya, belum mulai satu seri Korea Selatan apapun. "Gue nonton film-film lama nih sama suami gue. Menonton ulang film Eropa Timur, atau film-film 70-80an seperti Sorcerer, Alien atau Terminator. Sepertinya memang cocok lagi suasana kaya gini malah nonton film yang ngebahas human salvation"
"Drama Korea sebenernya cocok ya memang ditonton saat ini, yang ditawarkan ceritanya eskapis." Saya cukup tertegun lalu seperti mengangguk setuju. "Bener juga ya, perasaan yang dihasilkan rasanya senang setelah nonton dra-kor. Tapi gak nyata ya?" Tambah saya. "Iya kan? Gak usah dipikirin setelahnya dan after tastenya menyenangkan. Jadi bisa saluran 'melarikan diri' sejenak kan." Saya lanjut mengangguk-angguk. Kamipun sepakat menonton drama Korea perlu keberanian dan energi lebih, terutama jika berakhir kecanduan dan tak bisa berhenti.
Soal situasi karantina di Brussel sendiri, Rini menggambarkan bisa dibilang cukup ketat. "Tapi banyak yang bandel. Misalnya di taman, banyak yang piknik padahal kan gak boleh berkumpul. Jadilah polisi membubarkan mereka semua." Saya juga sempat melihat Rini dan Liv mencari udara segar serta matahari di luar rumah. Tentunya kebosanan tak bisa dihindari ketika harus 24jam di dalam rumah. Diam-diam, Rini ternyata punya deadline yang harus dipenuhi terkait tulisan terbarunya. "Ini ternyata susah dikerjain selama lockdown. Jadinya gak maju-maju nulisnya padahal deadline tulisan ini sudah lumayan mepet." Ujar Rini yang ternyata sudah berencana merilis tulisan terbaru dalam bentuk novel tahun ini.

Setiap tahun, ketika festival film bergengsi diadakan dalam rentang bulan Februari sampai Agustus, Rini juga sempat meliput beberapa tahun terakhir. Keahlian menulis dan juga latarnya sebagai jurnalis, memberikan kesempatan untuk hadir di Cannes Film Festival, Venice
Film Festival dan juga Rotterdam Film Festival. Rini sempat mewawancara beberapa sineas, seperti Jafar Panahi (Taxi) dan Marjane Satrapi (Persepolis) dua sutradara asal Iran. Pandemi yang meluas sejak Maret ini mempengaruhi festival film untuk akhirnya meniadakan acara tahunan mereka, termasuk Cannes Film Festival yang merupakan festival film terbesar di dunia. Akhirnya, beberapa festival film pun bersatupadu mengadakan We Are One: Global Film Festival secara daring di Youtube. Bagi Rini sebagai cinephile hardcore, festival film online dirasa jauh dari suasana festivitynya. "Dari semua film di We Are One, gue cuma nonton satu, film Jerman tahun 60-an kalo nggak salah, judul Inggrisnya No Return Ticket. Tapi ya itu kan film-film yang asyiknya nonton di bioskop. Nonton di laptop melelahkan!" ungkapnya.

Di Brussel sendiri, sang suami yang bekerja sebagai psikiater di rumah sakit, harus tetap bekerja dan waspada karena rumah sakit menjadi satu dengan klinik umum. Hal yang sempat terlupa, soal mobil yang sudah mulai jarang dipakai dan diurus. Akhirnya terpaksa harus ganti aki mobil dan beberapa hal perlu diperbaiki. "Untuk dokter atau pekerja medis mendapat beberapa servis gratis, termasuk reparasi mobil ini sebagai kompensasi." Bagi penduduk Belgia, banyak keringanan didapat lewat social security system, terutama untuk para pekerja yang toko atau usahanya harus tutup sementara. Ketika ditanya apa ada rencana-rencana yang tertunda karena COVID-19? "Harusnya aku pulang ke Indonesia!" ungkapnya dengan kekecewaan. Setelah menetap lebih kurang 12 tahun di Eropa, setiap tahunnya Rini mencoba menyempatkan pulang ke kampung halamannya di Makassar. Dengan semua yang gagal dilakukan selama tiga-empat bulan terakhir, ada harapan kecil di tengah pandemi ini. "Buku bisa selesai dan segera rilis ya!"